Tuesday, March 30, 2010

Sense of Tuban (part 2)

Destinasi saya selanjutnya adalah “tak tentu arah”, hahaha. Seperti yang saya katakan, saya buta Tuban “kota” dan karenanya hanya memacu motor saya tanpa arah. Dan saya pun menemukan titik cerah ketika sampai di Rumah Sakit Medika Mulia yang sebulan lalu saya kunjungi karena menjaga seseorang yang sedang sakit. Tak jauh dari Rumah sakit tersebut ternyata ada pasar yang lalu saya arungi untuk menemukan jalan besar. Eh tak dinyana, ketika saya sudah akan berbalik arah, di sebelah kiri saya berdiri gapura besar dengan tulisan di atasnya “GOA AKBAR”. Hehe hidup ternyata penuh kebetulan,,,



Setelah memarkir motor, saya pun membeli karcis yang hanya seharga Rp.2000,- anda tidak percaya? Saya sebenarnya juga tidak percaya, saya pikir Rp.20.000,-. Meskipun tiket masuknya murah meriah, namun jangan tanya panorama goa ini, hmmm percampuran antara mengagumkan, mistis, dan megah. Bagi anda yang suka menjelajah goa, saya sarankan mampir ke goa yang satu ini karena ukurannya yang besar dan kesan misterius yang kadang membuat bulu kuduk berdiri.

Di halaman sebelum masuk goa, saya disambut oleh jalan setapak yang indah serta monumen goa akbar tak jauh darinya.





Goa akbar terletak di Pasar Baru Tuban dengan lintasan sepanjang 1,2 km dan secara resmi dibuka untuk umum sejak tahun 1998. Keunikan goa dan muatan sejarah yang terkandung di dalamnya merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke tempat wisata ini.

Goa Akbar memiliki beberapa versi sejarah. Versi pertama terjadi sekitar 500 tahun yang lalu saat Sunan Bonang sedang melakukan perjalanan spiritualnya. Ketika menemukan goa ini, Kanjeng Sunan Bonang terpesona dan seketika berucap, “Allahu Akbar”. Konon, sejak itulah, goa yang terletak di tengah Kota Tuban itu disebut Goa Akbar. Versi lain diceritakan, karena sekitar goa banyak dijumpai pohon Abar maka masyarakat setempat kemudian menyebutnya Ngabar. Berdasar buku yang dihimpun Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tuban, kata Ngabar berasal dari bahasa Jawa yang berarti latihan. Konon, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian untuk mengatur strategi dan latihan ilmu kanuragan prajurit Ronggolawe yang ketika itu berencana mengadakan pemberontakan ke Kerajaan Majapahit. Pemberontakan itu disulut oleh ketidakpuasan Ronggolawe atas pelantikan Nambi menjadi Maha Patih Majapahit. Karena seringnya dijadikan tempat latihan, goa dan daerah sekitarnya dijuluki Ngabar, yang kemudian seiring waktu menjadi nama dusun yaitu Dusun Ngabar, Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding. Dari nama dusun itulah, nama akbar berasal.
Goa ini sendiri ada di bawah tanah sehingga dari atas, ada tangga yang akan mengantarkan anda menyusuri goa tersebut.



Ketika masuk, kesan mistis pun terasa karena swasananya yang dibuat gelap dan tenang. Di dalam gua itu sendiri ada kolam yang di dalamnya hidup beberapa macam binatang air seperti kura-kura dan ikan.









Peringatan maha penting untuk anda, ekstra hati-hatilah ketika memotret dengan HP atau kamera karena keadaan gua yang licin bisa membuat anda terpeleset dan dikhawatirkan barang elektronik anda tersebut nyebur ke kolam. Saya sendiri mengalaminya ketika kamera saya hampir saja terjatuh ke kolam seperti ada kera yang merebutnya dari saya, hahaha. Percaya tidak percaya, mungkin karena waktu itu dari sekian banyak pengunjung, hanya saya yang membawa kamera dan agaknya “penghuni” di sana kesal karena melihat saya jeprat-jepret seperti saya lah satu-satunya orang yang punya kamera, hahaha. Ah sudahlah, mungkin memang jalannya saja yang licin…

Setelah kejadian kamera hampir jatuh, saya pun memutuskan untuk menyembunyikan kamera saya agar “penghuni” di sana tak kepengen, namun saya urungkan karena tergoda memotret ini.



Waktu itu telah siang ketika saya keluar dari goa akbar dan tergoda untuk membeli buah siwalan di pasar depan tempat wisata itu. Saya pun segera cas cis cus menawar sebungkus siwalan yang akhirnya deal dengan harga Rp.3000 perbungkus. Murah sekali karena sebungkus berisi 7 butir siwalan dan melihat penjualnya yang bersusah payah mengupas buah itu, saya jadi menyesal terlalu rewel menawar. Anyway, pernahkah anda makan buah siwalan? Yap buah ini mirip kelapa namun di dalamnya berisi beberapa butir buah yang bisa dimakan. Rasa dan penampakannya mirip klamut (buah kelapa yang masih muda), namun akan sedikit keras kalau sudah dua. Buah siwalan biasanya dinikmati langsung atau bisa juga dibuat minuman yang disebut legen. Kalau legen ini diasamkan, dapat menjadi tuak tradisional yang memabukkan.



Setelah mendapatkan 4 bungkus siwalan yang siap dibawa pulang, kami pun beranjak pada destinasi selanjutnya yaitu masjid agung Tuban. Masalah klasik kami pun teruslang kembali yaitu tidak tahu letak alun-alun yang juga masjid Agung Tuban berada. Hahaha saya dan adik saya pun hanya berputar-putar saja dan hampir 3 kali melewati rute yang sama. Saya pun akhirnya menyerah dan mengakui bahwa pepatah yang mengatakan “malu bertanya, sesat di jalan” benar sekali. Akhirnya kami bertanya kepada seorang bapak-bapak dan kami hanya meringis ketika dia berkata “alu-alun saja kok ndak tahu”. Saya dan adik saya tak berhenti tertawa ketika ternyata alun-alunnya tak seberapa jauh dari tempat kami tadi bertanya. Ibaratnya, dengan ngesot kami sudah dapat mencapainya, hahaha.

Kami pun segera memarkir motor kami di depan masjid dan sholat di sana. Hmm masjid agung tuban memang mengagumkan. Arsitekturnya yang bergaya timur tengah seperti di cerita “seribu satu malam” serta berwarna-warni menambah keindahan masjid ini. Satu hal yang paling saya kagumi dari masjid ini adalah toiletnya yang bersih dan besar. Namun satu hal pula yang saya tak habis pikir adalah tulisan peringatan di depan masjid tersebut yaitu harus mengenakan pakaian muslimah bagi perempuan. Bagi saya hal tersebut agak aneh…



Setalah sholat, saya pun tergoda untuk mencoba es siwalan yang ada di depan masjid tersebut. Hmm dengan harga Rp.2000, anda akan mendapatkan santapan minuman yang segar dan manis karena gulanya berasal dari gula aren.



Karena tertarik dengan kerumunan rombongan yang bejubel menuju sebuah gapura berwarna orange, maka saya pun segera menyudahi kenikmatan menyeruput es siwalan dan ikut berjubel dengan mereka. Ternyata mereka adalah para peziarah yang akan mengunjungi makam sunan bonang. Sepanjang jalan menuju makam, saya menemukan begitu banyak toko yang menjual berbagai macam aksesoris khas Tuban terutama pakaian yang berbahan batik Tuban. Ketika saya telah berada di dalam area makam, saya melihat begitu banyak kuburan yang ada di komplek pemakaman tersebut. Makam Sunan Bonang sendiri berada di dalam pesarean yang beratap rendah sehingga anda harus jongkok ketika di dalamnya.





Hari hampir sore ketika saya memutuskan untuk pulang, sayang sekali saya tidak dapat menghabiskan seluruh destinasi wisata di sana. Tidak cukup hanya sehari mengelilingi Tuban dengan paket wisata lengkapnya. Ketika perjalanan pulang, tepatnya ketika melewati daerah Krawak, saya pun tertarik dengan papan kecil yang menunjukkan arah ke goa Puteri Asih. Dengan tekad membabi buta saya dan adik saya pun memberanikan diri untuk mampir sejenak. Ternyata letak goa itu memang tak mudah dijangkau seperti yang dikatakan orang-orang di desa saya. Namun power puff girl macam kami mana mau menyerah, jalan berbatu menanjak pun kami arungi sehingga sampailah kami di tempat wisata tersebut. Huuu tempatnya memang pelosok dan agaknya masih belum banyak dikunjungi. Sepi, itu kata yang terlintas di otak saya ketika sampai disana. Hanya ada sebuah warung dan seorang tukang parkir muda yang menyambut kami. Sempat terlintas di pikiran saya untuk kembali saja namun urung karena rasa penasaran yang juga besar.

Ketika sampai di area goa, saya celingak-celinguk mencari dimana goa itu seharusnya berada. Tak ada petunjuk jalan maupun papan yang menunjukkan keberadaan gua. Untung saya cukup cerdas untuk mengikuti saja jalan setapak yang akhirnya mengantarkan kami pada sebuah gubug kecil yang ternyata adalah tempat pembelian karcis masuk goa. Ketika saya melongokkan kepala saya ke dalam gubug itu, tidak ada satupun orang disana. Rasanya ngeri sekali karena saya berasa sedang ada di film misteri.







Saya pun akhirnya memutuskan untuk langsung masuk saja ke goa. Ternyata goa tersebut terletak di bawah tanah dengan dengan keadaan yang masih alami. Alami karena goa tersebut belum dibangun seperti goa akbar. Di dalam goa tersebut, tanah masih menjadi alas sedangkan stalaktit tidak henti-hentinya meneteskan titik-titik air. Ketika berada di dalam goa tersebut, tak henti-hentinya saya berkata “wow” karena takjub terhadap keindahan dan keunikan goa tersebut. Justru karena masih alami, goa ini terkesan liar dan misterius yang sukses membuat bulu kuduk saya berdiri.







Hawa dingin dan penerangan apa adanya –yang sewaktu-waktu mati-hidup, menambah kesan seram namun menakjubkan. Menakjubkan karena stalaktit dan stalaktit yang masih basah sehingga terlihat berkilauan. Ketika saya mnelusur goa lebih dalam, paling tidak ada dua hall luas yang membuat saya takjub. Di Hall pertama, banyak saya temui batu-batu yang mmemiliki bentuk mirip dengan binatang seperti elang dan sapi. Sedangkan dinding gua tersebut berhias juntaian garis warna hitam yang menyerupai rambut manusia.







Sedangkan pada hall kedua, saya terpukau oleh gugusan stalaknit yang menyerupai pasukan perang padahal itu adalah batu. Batu-batu kecil tersebut berdiri berkelompok dan kadang berkilau karena tertimpa cahaya. Sungguh luar biasa!





Yippi!!? Setelah mengunjungi goa puteri asih, dengan hati senang saya pulang ke rumah samabil membawa oleh-oleh dan pengalaman menakjubkan tentang Tuban, Sekarang saya tahu kenapa saya ingin mengenal Tuban, karena saya ingin lebih banyak membicarakannya dengan anda.

Monday, March 29, 2010

Sense of Tuban (part 1)

Tuban, 21 Maret 2010

Mungkin saya adalah salah seorang arek Tuban yang durhaka karena hampir tak mengenal kota kelahiran saya sendiri. Kebetulan, rumah saya jauh dari tuban kota dan lebih dekat dengan Jawa Tengah, jadi saya lebih sering pergi ke Rembang atau Lasem, daripada Kota Tuban. Padahal di Tuban banyak sekali objek wisata yang sayang dilewatkan. Dan hari inilah, kelayapan saya menelusur Tuban menjadi kenyataan. Rencananya, saya akan mengelilingi Tuban dan mengunjungi semua objek wisata dari mulai yang pelosok yang jarang dijamah, sampai tempat yang paling tersohor.
Saya berangkat dari rumah sekitar jam 07.00 dengan motor warna orange dibonceng adik saya. maklumlah saya ini tak terlalu bisa naik motor, jadi adik sayalah yang menjadi tukang ojek tanpa bayaran, hahaha. Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan persawahan yang hijau, hutan yang masih alami, dan awan layaknya kapas yang beterbangan.







Perjalanan selama hampir 1 1/5 jam seperti tak terasa karena suguhan pemandangan yang maknyus punya. Saya tidak bohong, sepanjang perjalanan pemandangan di ataslah yang saya lihat. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di objek wisata yang pertama yaitu air terjun nglirip. Sebenarnya, nglirip adalah bendungan dari sungai Krawak. Bendungan ini memiliki tinggi kurang lebih 30 meter dan lebar 28 meter. Nglirip berada di desa Mulyoagung, Kecamatan Singgahan, kurang lebihnya 35 KM arah barat daya dari Kota Tuban.





Menurut cerita masyarakat sekitar, di balik air terjun ini terdapat sebuah gua yang cukup besar. konon di gua itu hidup roh seorang wanita yang sedang menunggu kekasihnya, sesekali wanita tersebut keluar dari gua dan masuk dalam kerumunan masyarakat sekitar atau sekedar mengambil air di air terjun itu. Warga meyakini, putri Nglirip akan marah jika rumahnya di sekitar goa air terjun Nglirip dipakai pacaran. Tapi kalau pasangan suami istri tidak apa-apa. Ehem susah juga kalau legendanya seperti itu, akan sedikit pasangan muda-mudi yang akan datang kesana padahal pasar-an objek wisata air terjun biasanya adalah (pasangan) remaja, bukan suami-istri. Setelah puas menikmati air terjun Krawak, saya dan adik saya pun melanjutkan perjalanan.
Waktu melewati daerah krawak, saya selihat perkampungan yang terletak di bawah tebing yang menjulang tinggi. Wow!





Sekitar jam 09.00, sampailah saya di Tuban kota. Saya biasa menyebutnya Tuban kota karena anda akan menemukan perbedaan yang sangat mencolok antara Tuban “kota” dan Tuban “desa”. Kebetulan saya kebagian tinggal di “desa”-nya, jadi saya cukup pintar membandingkan perbedaan keduanya ketika melihat insfrastruktur di dua tuban yang masih satu jiwa. Kalau anda tidak pernah tahu Tuban, saya akan sedikit menjelaskan.
Anda mungkin pernah mendengar berita tentang kerusuhan pada waktu pemilihan bupati di Tuban? Atau tentang banjir yang biasa menjadi santapan beberapa daerah di kabupaten ini? Haha kebetulan itulah berita yang selalu saya lihat tentang Tuban di televisi, cerita yang beredar selalu tentang itu-itu saja. Padahal Tuban punya sejarah yang tak lekang waktu seperti kota yang menjadi pusat penyebaran islam yang dilakukan Sunan Bonang yang merupakan salah satu wali Sembilan (dikenal dengan sebutan wali songo) dan berbagai destinasi wisata yang lengkap. Sedikit promosi sih, tapi memang itulah kesan yang saya dapatkan setelah berkeliling tuban.
Pada kenyataannya, Tuban adalah sebuah Kabupaten di Jawa Timur. Terletak di sepanjang Pantura di bagian utara dan berbatasan dengan Lasem di sebelah barat, Lamongan di sebelah Timur. Kebanyakan masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dan pedagang. Tuban AKBAR itulah mottonya yang merupakan singkatan dari Aman, Kreatif, Bersih, Asri, Rapi. Tidak berlebihan apabila menyebut diri demikian karena Tuban memang memiliki hal-hal berukuran besar seperti gua, kelenteng, dan masjid yang berukuran besar. Saya akan menunjukkan pada anda nanti.
Kembali lagi ke kelayapan saya. Karena saya buta Tuban “kota”, maka saya dan adik saya pun mencari cara aman untuk menelusuri pusat kota ini, yaitu memulai menelusur dari seputaran pantai utara atau jalur Semarang-Surabaya. Destinasi pertama adalah menikmati pemandangan laut yang cukup menawan meskipun tak ada hamparan pasir di sepanjang pantai.Dari kejauhan, saya melihat perahu-perahu nelayan yang sedang berlabuh yang menambah ramainya pantai selain kendaraan yang lalu lalang.



Tak jauh dari tempat saya menikmati laut, saya melihat sebuah bangunan merah berdiri mentereng menghadap ke arah laut. Hmm ternyata itu adalah kelenteng Kwan Sing Bio yang terkenal itu. Terkenal karena menempati area yang sangat luas dan indah luar biasa.



Klenteng ini didirikan pada tahun 1928 oleh para bangsa Tionghoa yang berdagang di daerah pantai Tuban. Tempat peribadatan ini tidak hanya dikunjungi oleh masayarakat Indonesia, tetapi juga negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Di bagian depan kelenteng, anda akan disambut gapura berwarna merah berani. Ketika masuk, anda akan disambut sebuah benda –yang saya tidak tahu fungsinya apa, menjulang di sebelah tempat persembahyangan utama.



Di belakang tempat persembahyangan, anda akan menemui ruangan kaca yang didalamnya berisi liong dan disekitarnya berdiri patung-patung dewa yang menjaga benda di dalam kaca tersebut.









Saya sudah akan meninggalkan klenteng Kwan sin Bio ketika saya penasaran pada pintu masuk aula luas yang di sepanjang temboknya terpampang lukisan indah.



Hal yang membuat saya terkagum untuk kesekian kali adalah, ternyata di bagian belakang komplek klenteng itu berdiri bangunan yang sangat besar mirip asrama yang mengingatkan saya pada film-film china yang bercerita tentang dinasti-dinasti pada zamannya. Bangunan tersebut ternyata adalah tempat menginap sedangkan aula yang tadi saya lewati adalah tempat pagelaran seni.



Ow ya, jangan khawatir tak dapat tempat parkir, karena kelenteng ini dilengkapi dengan tempat parkir luas dengan toko-toko yang menjual cenderamata. Satu hal ketika pergi ke klenteng ini, jangan sungkan berfoto karena tempat ini memang keren sekali.

bersambung...

Thursday, March 25, 2010

Tulisan pesanan "My Name Is Khan"


Sebenarnya ini note pesanan, haha. Ya seorang teman tadi siang berkata padaku: “pokoknya kamu harus nonton ‘my name is khan’ nung, lalu nulis note, tak tunggu lo.” Waduh, sudah mirip pemimpin redaksi majalah aja dia yang ngingetin deadline ke wartawannya. Aku sendiri sebenarnya tak pernah bisa menulis karena disuruh, aku selalu menulis karena aku ingin. Tapi untuknya, aku pun siang itu segera ke XXI untuk menonton My name is Khan dan saat ini mengetik note tak pentingku dengan sebungkus klepon disebelahku.

Seperti yang sudah-sudah, aku selalu nonton bioskop sendiri dan entah kenapa, aku selalu kebagian duduk disebelah sepasang kekasih. Bukan iri sih, tapi kepingin aja, hahaha. Baiklah, aku sebenarnya gak tahu apa yang diinginkan pemesan note-ku untuk aku tulis tentang film itu. Tapi satu fakta yang ingin aku katakan tentang film itu adalah: ketika keluar ruangan, aku melihat begitu banyak mata yang sembab dan hidung merah tanda habis menangis, hahaha. Dodolnya, itu juga terjadi padaku. Agaknya film itu memang cukup menguras air mata yang mengingatkanku pada film-film syah Rukh Khan sebelum-sebelumnya seperti Kabi kushi Kabi Gham dan Kuch Kuch Ho ta hai. Hahaha hafal ya aku. Ya iyalah, aku ini dulu penggemar beratnya Khan dan Kajol. Kalo lihat film mereka, mewekku bisa kenceng banget, sampai sesenggukan, apalagi kalau ingat adegan ketika kajol pergi naik kereta dan Khan mengejarnya di film Kuch Kuch Ho ta Hai, rasanya hopeless (lebayyy tingkat tinggi).

Ah sudahlah, film india memang selalu lebay tapi itu pula yang selalu sukses membuat perasaan penonton terombang-ambing lalu meneteskan air mata. Aku sendiri sebenarnya suka dengan film ‘My name is Khan’ terutama karena aku muslim. Film itu seperti menegaskan bahwa islam itu kompleks. Dan karenanya, untung-untungan bagimu apakah lihat jeleknya saja, atau bagusnya saja, sehingga pada akhirnya kamu akan dapat memutuskan apakah akan memusuhinya atau berdamai dengannya. Kebetulan, Khan adalah representasi dari islam yang “baik” dan si dokter provokator sebagai representasi islam “tak-baik” (penafsiranku dari film itu). Biasa film Hollywood selalu berkutat dengan protagonist dan antagonist, pahlawan dan penjahat.

Satu hal dari note ini adalah aku tak akan mendramatisir tentang diskriminasi ‘ke-muslim-an’ waktu itu atau memuja-muja Khan yang di film itu terlihat begitu “good”, tapi aku lebih suka melihat film ini dari sisi yang tak terlihat, yaitu “nilai”. Nilai tentang keadilan kepada sesama manusia atau bahkan kepada Tuhan. Menurutku, jangan dikira cuma Tuhan saja yang berlaku adil pada manusia, tapi manusia juga harus berlaku adil pada Tuhan. Apakah adil bagi Tuhan ketika umat-Nya mencemarkan nama baik agama-Nya sementara Dia tak pernah memastikannya sebagai hal yang mutlak dilakukan pada suatu waktu, jam, detik tertentu?

Terus terang, waktu melihat film ini, aku lebih banyak ter-sentil dengan hal-hal yang dialami oleh Khan. Dulu waktu kecil (kira-kira umur 5-6 tahun), aku adalah salah satu anak yang terancam dengan keberadaan orang seperti Khan, maaf, yang “berbeda” seperti itu. Dia adalah laki-laki yang sebenarnya masih saudara jauhku. Setiap aku berangkat sekolah TK dibonceng mbakku, dia akan mengejar dengan sepeda mini-nya dan aku akan berteriak menyuruh mbakku supaya lebih cepat mengayuh. Aku tak pernah berani ke rumahnya karena dia pasti akan bertingkah aneh. Setahuku waktu itu, dia adalah orang gila, begitu yang orang-orang katakan tentangnya. Hmm aku jadi berpikir,,,mungkin waktu itu dia kesepian, ya dia pasti kesepian karena tidak ada yang mau bermain dengannya, makanya dia mengejarku, karena mungkin, dia ingin bermain denganku dan ingin bersekolah sepertiku.

Saat menulis ini, aku baru sadar, itu pasti tak adil untuknya. Siapa sih yang mau diciptakan seperti itu? mungkin dia juga tak mau kan? Lalu punya hak apa aku “menolaknya”? namun seperti Khan setelah menemui Obama yang lalu tak “tertolak” lagi, saudara jauhku juga sekarang pasti tak tertolak lagi, karena dia telah tenang di persemayamannya…”Saudaraku aku ingin bermain denganmu, tapi aku tak ingin mati cepat, jadi main sendiri dulu ya…hehehe”

Sentilan lain adalah tentang kelapangan hati untuk sedikit saja meluangkan waktu bergaul dengan rasa benci. Rasanya ingin tertawa karena melihat kepolosan Khan yang didalam film itu punya kepribadian yang “jujur, pemurah, istiqomah, amanah” (dua kata terakhir mengingatkanku pada mata pelajaran aqidah akhlaq waktu MTS hahaha). Mbak Istiqomah dan Amanah itu kira-kira artinya “teguh pada pendirian” dan “dapat dipercaya/menepati janji”. Terpikir olehku: mungkinkah dia punya sifat seperti itu apabila dia orang “sehat dan normal” seperti kita-kita ini? Apakah dia akan begitu cepat memaafkan orang-orang yang “menolak dan menganiayanya” apabila dia seperti kita-kita ini? Hehe disinilah letak sentilan itu. Ternyata keegoisan seseorang yang sehat wal afiat ketika marah kepada sesama manusia lain atau bahkan Tuhan, dapat mengalahkan keinginan untuk berdamai dengan semuanya dan menghilangkan rasa dendam. Para muslim yang dengan cepat sakit hatinya karena dikompori oleh provokator, lalu orang-orang AS yang punya stereotip buruk pada orang muslim pasca 9/11, sangat kontras dengan “kelapangan hati” yang dimiliki oleh Khan, kenapa bisa begitu? Aku tak akan menjawab karena Khan “berbeda” dan orang lain sehat wal afiat, karena aku yakin, banyak orang yang sehat wal afiat yang punya kelapangan hati seperti halnya Khan. Lalu timbul pertanyaan: apakah aku diantara orang-orang yang punya kelapangan hati layaknya Khan? Bagaimana dengan anda? Hahaha sepertinya aku dan anda butuh meteran untuk mengukur lebar dan panjang hati kita, agar kita tahu berada luasnya (rumus matematikanya L=pxl kan ya?)

Adoooo sepertinya note ini akan panjang. Khan terlalu banyak memberi inspirasi yang sulit terungkapkan. Aku tak akan bilang “ayo kita sebagai muslim (dan tak hanya muslim) jadi kayak Khan yoook…” hehe aku merasa belum memiliki kapasitas seperti itu, karena ketika aku bilang begitu, aku punya konsekwensi untuk TELAH seperti itu padahal aku juga gak dapat memastikan semua yang dilakukan Khan benar. Tapi aku akan tetap menyederhanakan semuanya dan bilang: aku juga manusia layaknya Khan, aku yakin kami sama-sama dewasa untuk membedakan mana yang baik dan jahat. Ketika Khan (seperti) selalu memberi kesempatan pada hal baik, maka aku akan BERUSAHA untuk selalu memberi kesempatan pada hal yang baik itu pula. Apakah nanti jadinya jelek? Aku pasrahkan semuanya pada Tuhan. Gitu aja kok rempong.

Terus terang sulit menulis note ini karena film itu sarat dengan pesan moral dan sayangnya aku bukanlah orang yang tepat untuk menggembar-gemborkannya. intinya, Rekonsiliasi adalah kata yang tepat mewakili film itu. seperti si pembuat naskah ingin berkata “sudahlah, buat apa kita bertengkar karena perbedaan. Tak semua yang kamu anggap berbeda (secara ekstrem) denganmu itu jahat. Karena di dunia ini cuma ada yang jahat dan baik. Dan yang baik itu sebenarnya terlihat jelas, lalu kenapa kita tak memberi kesempatan pada yang baik?”

Tuesday, March 23, 2010

Cerita tentang Korupsi

Waktu itu pagi di suatu pasar di sebuah kecamatan kecil di Tuban, Jatim. Aku memarkirkan sepeda motorku di depan pasar yang dikelola oleh pihak berwenang di pasar itu. Seragam tukang parkirnya berwarna hijau mirip punya hansip lengkap dengan topi yang mengingatkanku pada topi KKN-ku. Jadi aku percayakan sepeda motorku di tangan bapak-bapak yang kalihatan “amanah” itu. Aku pun diberi karcis kecil lengkap dengan cap yang menandakan itu tempat parkir resmi. Setelah selesai belanja, aku pun menuju motorku, aku telah menyiapkan uang Rp.1000 untuk membayar parkir, namun aku urungkan karena ternyata di kertas hanya tertulis angka Rp.300. Aku pun hampir menyerahkan uang Rp.500 ketika bapak petugas parkir mengatakan aku harus bayar Rp.1000 karena aku manis (ehem), dan 1500 bagi orang jelek. Lalu aku nyolot.

“Di kertas ditulis Rp.300, kok bayarnya jadi Rp.1000 pak?” (telah aku artikan, bahasa sebenarnya bahasa kromo) Kataku dengan senyum mengejek

“Mbak kan bawa karcis yang tulisannya Rp.300, lalu karcis yang nempel di motor mbak kan juga Rp.300, jadinya Rp.600 to. Yang Rp.200 untuk beli rokok, Rp.200 untuk beli wedang (minuman)”

“berarti korupsi dong?”

“Ya nggak no, kan udah ngomong, korupsi kan ndak ngomong”

Tukang parkir lain, yang juga teman tukang parkir pertama ikut nimbrung. Aku menanyakan hal yang sama dan dia bilang gini.”sudah, jangan bilang siapa-siapa. Diikhlaskan saja, semoga sehat, blab la bla.”

Karena jengah dengan kelakuan mereka, aku pun tancap gas dan berlalu meninggalkan mereka yang masih ngoceh. Sampai rumah, aku bertanya pada bapakku. “pak, biasanya bapak bayar parkir di pasar berapa?” beliau menjawab:”Rp.500, kadang malah gak bayar soalnya mereka sudah kenal aku”
“aku tadi disuruh bayar Rp.1000”
“Kalo tahu anakku, pasti nggak ditarik Rp.1000, soalnya mereka sudah kenal aku”
Batinku:”waaa ini nepotisme namanya”

Itu sepenggal cerita bodoh yang aku alami di sebuah kota kecil di pelosok Tuban. Yang ingin aku katakan adalah:Korupsi ternyata telah mengakar dimana-mana, tak terkecuali di kota kecil yang jauh dari sorotan KPK, yang dilakukan aparat berwenang meskipun itu dalam jumlah yang kecil. Angka yang harusnya cuma 300, menjadi 1000, ckckck hampir 3 kali lipatnya! Bayangkan berapa keuntungan pegawai parkir itu. Aku yakin, dari pihak pengelola pasar (berarti pemerintah di kecamatan itu), mereka telah digaji. Tidak heran, para koruptor bisa korupsi buanyak berkali-kali lipat dari uang yang seharusnya menjadi haknya.

Waktu menulis ini, aku sebenarnya ingin sekali mencari cara untuk “melaporkan” perbuatan mereka ke pihak yang berwenang mengenai permasalahan perparkiran tadi, tapi di hatiku juga timbul keraguan: “yakin nung kamu mau melaporkan ini ke pihak yang berwenang? Kamu tahu dimana dan siapa? Kamu gak kasian sama dua petugas parkir itu yang pasti orang kecil?”

Hahahaha rasanya ingin tertawa karena dua hal: pertama, aku tahu perbuatan mereka curang. Namun aku memaksa diriku untuk tidak mau tahu karena merasa tidak berdaya dan tidak punya akses untuk melaporkan kedua bapak-bapak tadi. Kedua, apakah permasalahan kecil (korupsi 600) harus aku besar-besarkan? Kasihan mereka…

Itulah, menurutku, dua hal yang membuat korupsi terus mengakar bahkan di tempat, waktu, dan tokoh yang paling kecil sekalipun. Yap dua hal itu adalah: kita tak punya “sesuatu” yang siap untuk jadi pendengar dan rujukan ketika ada korupsi di sekitar kita, dan lalu dengan gagah berani mau meninjaklanjuti. Polisi? Aku, jujur saja, pesimis dengan mereka. Sayangnya KPK hanyalah sebuah tangan dewi keadilan yang hanya ada di ibu kota yang panjangnya tak menjangkau pelosok Tuban. Kedua: kita selalu berlagak jadi pemaaf dan membuat hal itu “umum” terjadi. Kita bahkan tak menganggapnya sesuatu kecurangan atau bahkan kejahatan. Jadi sikap permisif itulah yang terus saja membuat perbuatan curang itu beranak-pinak bahkan di lingkungan yang paling kecil sekalipun.

Jujur, ketika nyolot seperti tadi kepada dua bapak yang agak tua yang juga dua tukang parkir koruptor, aku tak merasa berdosa sama sekali. Meskipun mereka dua bapak-bapak yang mungkin miskin dan memang telah tua…Aku tak akan bilang yang aku lakukan tadi benar, itu terserah pendapat anda-anda yang membaca note ini.
Orang Indonesia itu terlalu pemaaf dan “sok baik”, makanya korupsi gak pernah mati, hehe.

Monday, March 8, 2010

Tak Berjudul

Suatu hari temanku bertanya ke aku. “Nung, kenapa sih kamu suka pergi-pergi sendiri?”

Aku jawab dengan polosnya.”Mmm karena ga ada yang mau pergi sama aku”
Hahahahahahaha dan kami pun tertawa seperti kesetanan.

Jauh di lubuk hatiku, aku juga bertanya hal yang sama. Iya ya, kenapa teman-temanku (mungkin) tak ada yang mau pergi sama aku ya?

Waktu itu aku menjawab ragu. “Teman-temanku sibuk semua hehehe”

Sementara aku yang sedang galau dengan pertanyaan yang sulit aku jawab itu, seorang temanku yang lain tengah galau pula dengan pertanyaan yang hampir sama, intinya dia mempertanyakan keeksistensian pertemannya dengan beberapa temannya. Dia merasa diabaikan dan diacuhkan. Tak lagi diajak bareng-bareng seperti dulu. Dia kadang mengeluh padaku, dan aku sebenarnya juga tak tahu harus menyikapinya bagaimana, karena aku –jujur saja, tak sedang merasa begitu meskipun aku sering sendiri menikmati susah dan bahagiaku.

Intinya aku ingin bilang: setelah merasa berkorban dan melakukan banyak hal kepada orang lain, mau tak mau, kadang kita ingin mendapat balasan dari orang itu, dengan sepantasnya. Berani taruhan, kamu juga sering merasa seperti itu kan!

Rasanya ingin tertawa lepas…sampai sekarang aku belum menemukan cara untuk membuat rasa itu lebih simple, sulit sekali! Suatu hari berbulan-bulan yang lalu, aku menulis di statusku yang intinya tak mau menolong “seseorang” lagi karena telah habis kesabaranku. Aku merasa selalu ada untuknya dan telah berkorban terlalu banyak, tapi ketika hidupku begitu sempit dan memohon untuk diberi sedikit saja belas kasihan, dia tak berkehendak. Rasanya waktu itu sakit sekali. Aku yakin seyakin-yakinnya, kamu pasti juga pernah mengalami hal yang sama. Merasa telah melakukan banyak hal untuk orang lain, tapi orang itu tak membalas sepantasnya. Lalu apakah hidup pada akhirnya akan selalu dipenuhi dengan hal seperti itu?

Tadi sore, aku mendengarkan swaragama dan Si Taufik (penyiarnya) punya satu sesi yaitu “monster monday”. Kamu boleh mengajukan satu nama yang hari itu menjengkelkan kamu dan taufik akan mem-flush orang itu seperti –maaf, kotoran di WC. Kebetulan client Taufik melaporkan temannya yang hari itu nyebelin banget (menurut si client) karena tak mau meminjami buku padahal biasanya client ini selalu meminjami si korban bukunya. Lalu Taufik bilang sebelum mem-flush si korban: “ini hukuman untuk orang yang tak bisa menghargai kebaikan orang lain (itu seingatku).” Dan grojog grojok, disiramlah itu si korban (meskipun cuma lewat telpon), hahaha. Tak aku sangkal, aku ikut puas mendengar itu.

Lalu aku pun bertanya dalam hati: apakah aku tak cukup menghargai kebaikan orang lain ya sehingga setiap aku butuh orang lain, mereka serasa lenyap? Sringggggg. Btw, Aku sedang tersenyum kecut sekarang.

Tapi aku selalu dapat hikmah dari semua hal yang mungkin menurut orang itu sial. Yap!? Aku selalu membuatnya simple dengan bilang pada diriku sendiri: Kamu bisa kok nung sendiri, itu akan membuatmu lebih kuat!? Maka ketika kamu telah merasa sedikit kuat, berikanlah kekuatanmu itu untuk orang yang memintanya, agar hidup itu tak hanya meminta saja. Hahahaha aku merasa sok bijaksana sekali hari ini.
Yayaya ini mungkin sejenis pelipur lara,,,tapi satu hal yang ingin aku katakan, sekali kita menuntut dan diberi/dilayani, maka kita akan terus menuntut. Apa akibatnya? Kita tak akan siap ketika suatu hari kita harus menghadapi sendiri, ketika tak ada orang yang siap melayani, ketika semua pergi. Lalu apa kita hanya akan mengeluh dan menyalahkan orang lain?? Ah sudahlah,,,selalu ada alternatif untuk membuat hidup ini berwarna, untuk membuat hidup berjalan dengan penuh sureprize tanpa harus selalu dipermudah oleh orang lain.

Dan malam setelah aku ditanya temanku diatas, dalam pejaman mata, aku berpikir. Dengan mereka jadi temanku saja, aku telah senang. Aku tak perduli mereka membalas yang telah aku lakukan pada mereka atau tidak, dan aku juga tak perduli mereka selalu ada ketika aku butuh atau tidak. Karena aku yakin, apa yang aku jalani sekarang itu membuatku lebih kuat. Seperti yang pernah aku bilang dalam note-ku tentang “Abee bukan bapakku”, ketika kita harus menjalani semua sendiri, itu akan membuat kita lebih kuat. Hehe aku akan selalu berterimakasih pada teman-temanku meskipun tak selalu ada untukku. Karena berteman bagiku tak hanya kalimat “teman ada ketika aku butuh” tapi juga “tak ada” ketika aku butuh karena aku yakin, proses itu akan membuatku lebih kuat.

Aku akan berusaha ada untuk kalian…dan aku tak mengharapkan apa-apa dari kalian, karena aku ingin menjadi kuat karena dan untuk kalian…hehehe