Monday, April 26, 2010

Tentang Pernikahan

Apa yang kau rasakan ketika hari pernikahan sudah terlampau dekat denganmu? Deg-degan? Atau mungkin merasa ragu? Suatu hari aku bertanya pada seorang calon pengantin tentang bagaimana perasaannya menjelang hari H pernikahan. Lalu dia menjawab “biasa saja”. Tapi aku tak pernah percaya. Mungkin hari pernikahan itu tak begitu patut dicemaskan, tapi hari-hari setelahnya mungkin akan lebih “menantang” untuk dilewati. Rupanya dia sadar akan hal itu dan muncullah isu yang selama ini tak terlalu disadarinya. Ehm isu sensitive itu adalah: hubungan yang (sering) tidak harmonis antara menantu dengan ibu/ayah mertua. Tak hanya itu, yang lebih umum lagi adalah ketidakcocokan antara wanita/laki-laki yang berumah tangga dengan saudara kandung atau saudara ipar si pasangan.

Hahahaha aku sudah macam konsultan rumah tangga saja ya…

Sebab konflik atau ketidakcocokan pun macam-macam. Bisa karena hal yang “lebih” atau “kurang”. Maksudnya begini. Sebut saja minah, dia adalah seorang ibu rumah tangga dengan suami bernama Supri. Supri memiliki saudara bernama Paimin. Sedangkan Paimin memiliki istri bernama Tini. Hahahaha aku tak bisa menyebut status mereka satu sama lain. Nah pengalaman yang sering terjadi adalah secara alamiah Minah (pasti) akan bermusuhan/tidak cocok dengan Tini. Ini teori-ku yang paling mutakhir, boleh kau buktikan, hahaha. Ketidakcocokan itu dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain; Minah yang lebih kaya dibanding Tini, atau Minah yang kurang memberi pada keluarga Tini dll. Perasaan iri adalah hal yang paling sering terjadi.

Aku tak bermaksud menghalalkan ini lo, tapi aku berusaha untuk memberitahu pola yang selama ini aku amati. Kalaupun ada studi kasus (halah bahasanya) yang tidak sesuai teori, maka telah terjadi anomali atau perkecualian yang patut dicari tahu.
Aku tak akan sok menjadi bijaksana, tapi seperti biasa, aku akan menentukan sikap agar semua menjadi lebih tertebak. Maksudnya begini, ketika nanti aku telah berumah tangga dan (amit2 jabang bayi) misal mengalami pola seperti tadi, aku akan berusaha agar nasibku tak berakhir seperti tokoh protaginis maupun antagonis di sinetron-sinetron Indonesia, yaitu Sang protagonist yang selalu mengalah dan menangisi nasibnya. Dan antagonis yang selalu melebarkan matanya dan menghabiskan harinya untuk menyusun rencana jahat. Hidup ini bukanlah macam itu kawan, aku tak mau jadi keduanya…

Aku ingin membuat itu lebih simple, bahwa ketika aku telah tahu pola umumnya, yaitu yang satu sering menggosipkan yang lain, maka aku tidak akan menyerah dalam keadaan seperti itu. Aku akan berhati-hati agar tak tersulut emosi dan perasaan benci. Aku tak tahu apakah aku akan bisa sekuat itu, tapi aku yakin, keadaan sesungguhnya tak akan sesulit yang dibayangkan, karena sebenarnya pola dapat mengendalikan keadaan menjadi lebih tertebak. Sehingga ketika aku telah dapat meraba-raba apa yang mungkin terjadi, maka aku akan bersiap diri agar hidupku tak selalu diliputi rasa benci.
Hal natural/alami yang biasa terjadi yang membuat sakit, tak akan semudah itu membuat sakit kalau kita belajar dari pola dan berusaha beradaptasi dengannya…aku percaya itu!

Sunday, April 11, 2010

Mencicipi Museum Kolong Tangga

Kebetulan, hari itu ada seorang teman yang sedang berkunjung dan bersedia meminjamkan sepeda motornya untuk saya pakai muter-muter. Hahaha saya bayangkan, hatinya was-was tak karuan karena khawatir motornya kenapa-napa, pantaslah, karena saya ini tidak mahir naik motor. Mahirnya naik cikar hahaha. Muter-muter saya kali ini adalah mengunjungi museum kolong tangga yang memang telah lama ingin saya kunjungi. Letak museumnya sendiri saya tak tahu, tahunya hanya berada di Gedung Taman Budaya. Untungnya otak saya ini cukup cerdas untuk mengira-ngira dimana tempatnya karena melihat petunjuk arah menuju museum tersebut. Ehem, kalau anda orang jogja yang tak tahu letaknya, atau bukan orang jogja yang belum pernah berkunjung, saya akan menunjukkan tempatnya. Meseum ini terletak di sebelah selatan pasar beringharjo, di sebelah utara pertokoan buku “shoping” dan Taman Pintar. Kalau anda naik bus, naiklah dengan menggunakan bus jalur 4, 9, atau 16 dan turunlah di Jalan senopati, bisa di Taman Pintar atau Shoping. Lalu berjalanlah ke Utara (dari shoping), maka anda akan menemukan bangunan berwarna putih yang bernama Taman Budaya Yogyakarta. Nah disanalah tempatnya!?



Dengan membayar Rp.2500 saja (untuk dewasa sedangkan anak-anak gratis), saya telah dapat stiker dan waktu sepuasnya untuk melihat berbagai macam mainan yang ada di dalam museum tersebut. Mainan yang tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain dari seluruh dunia.



Museum Kolong Tangga adalah museum anak pertama di Indonesia yang diresmikan pada 2 Februari 2008. Berlokasi di Gedung Taman Budaya Lt.2 Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta. Ide untuk mewujudkan museum ini dipelopori oleh Rudi Corens, seorang warga negara Belgia yang sudah lama menetap di Yogyakarta. Rudy menyumbangkan banyak koleksi mainannya ke museum tersebut. Jumlah mainan yang ada di museum Kolong Tangga mencapai 700 koleksi.

Ketika saya berkunjung, museum memang dalam keadaan sepi sehingga saya dapat belajar memotret disana. Dari mulai memfoto mainan-mainan sampai memfoto diri saya sendiri yang berpose dengan pak cepot yang hanya dua gigi depannya saja yang tak copot hahaha.



Namun hari itu yang berkunjung memang bukan saya saja, ada anak-anak kecil yang kelihatan tertarik dengan mainan-maianan yang dipamerkan. Kalau dijual, mungkin mereka sudah akan merengek minta uang ke orangtuanya untuk membeli mainan-maianan itu. Kadang mata saya membelalak karena mnemukan maianan yang dulu akrab dengan saya yang sekarang tidak lagi saya temui. Yakinlah, ketika anda kesana, kenangan masalalu pasti akan menyeruak kembali dan senyum simpul pun akan menghiasi bibir anda.
Satu hal yang membuat saya terheran-heran adalah, museum ini tutup kalau hari senin, hehehe.

Alamat:
Taman Budaya
Jl.Sriwedani no.1
Yogyakarta 55122
Telp. 0274-523512

Wednesday, April 7, 2010

Antara Hotel Berbintang dan Code

Selasa, 06 April 2010

Hari ini serasa aneh untukku. Pagi sampai sore, aku ada di “seminar” dengan jamuan mengenyangkan, sedangkan sore selama 1 ½ jam aku berada di sebuah balai di kampung Code dengan anak-anak yang kurang beruntung. Rasanya ingin tertawa karena hidupku begitu kaya. Kaya akan pengalaman yang membuatku banyak berpikir…

Baiklah, sebelum membaca ini, tariklah napas dalam-dalam, lalu tertawakan kalau kau menemukan hal yang lucu..

Kenapa aku menulis seminar dengan tanda petik? Hahaha aku adalah salah satu mahasiswi HI yang rajin sekali mengikuti seminar. Sudah lebih dari delapan kali sepertinya (sejak semester 1). Tak bermaksud menyombong kawan, karena sekarang aku merasa tak bangga sama sekali. Dulu ketika masih awal-awal kuliah, aku merasa menjadi “orang penting” ketika mengikuti seminar. Mencatat dan mendengarkan serius adalah hal yang aku lakukan selama seminar berlangsung. Tapi itu dulu. Sekarang aku akui, semangat itu semakin surut dan orientasiku mengikuti seminar pun berubah. Yah ilmu dari seminar itu tetap aku anggap penting, namun “art” ketika berseminar ternyata lebih menjadi concernku. Apa yang aku maksud dengan art? Hmm aku akan menceritakannya untukmu.



Aku selalu merumuskan art ketika mengikuti seminar Deplu (sekarang berubah jadi Kemenlu) dengan beberapa poin: satu, diadakan di hotel berbintang, atau di gedung kampus yang bagus. Dua, dapat dipastikan ada jamuan makan dan coffe break. Makanan dan kue-kue yang dihidangkan pasti membuat kolesterol dan lemakmu naik dengan kecepatan roket (lebayyy). Ini adalah semacam perbaikan gizi bagi anak kos-kosan sepertiku. Pernah suatu kali aku ikut makan di suatu seminar padahal aku tak ikut, yaaaa cuma numpang makan saja, hahaha (kalau tak salah, itu di ruang seminar fisipol). Pernah juga aku membawa pulang kue dari seminar dan aku makan bersama dengan teman-teman kosku. Masak perbaikan gizi tak bagi-bagi, itu kata mereka.
Ketiga, tatakrama dan hal-hal berbau protokoler sangatlah sering membuat aku cengar-cengir. Intinya, semua serba “sepantasnya” dengan basa-basi yang berlebihan. Ibaratnya: tertawa tak boleh kelihatan giginya (kayak apa tuh), makan dan minum dengan gaya ulat bulu (maksudnya tertata dan hati-hati), dan bertepuk tangan dengan irama dan moment tertentu. Tentunya akan lebih maknyus kalau tepuk tangan itu duet maut dengan senyum mengembang. Hah dapat kau bayangkanlah…aku tak bermaksud “mengejek”, cuma sedikit bosan saja dengan hal-hal seperti itu. Pernah terlintas di pikiranku, kenapa seminar Kemenlu tak pernah dilakukan di angkringan atau tempat-tempat “me-rakyat” lain? Hahaha aku yakin sebelum mengatakannya, orang-orang yang berkepentingan pasti telah menggeleng-geleng dengan mengatakan “itu tak pantas, nanti dilihat negara lain…”



Pagi tadi, aku juga mengikuti seminar di suatu hotel bagus di Jogja. Hehe aku sudah sering ikut seminar kemenlu disana. Tapi yang ini beda karena aku duduk dengan anak-anak HI angkatan atas yang sangat sibuk membicarakan hal-hal remeh-temeh semacam asyiknya main tamaguci dan ngerumpi tentang orang-orang yang hadir di sana. Bahkan aku dapat komentar dari seorang teman yang duduk di sebelahku dengan mengatakan seminar itu tak lebih dari: ngadem, makan, dan pake baju bagus. Hahaha seandainya di angkringan, mungkin tertawaku akan menggelegar seperti letusan Krakatau (lebay tingkat tinggi). Yap itulah sisi lain dibalik seminar yang mahal (menurut temanku, seminar kemenlu di hotel macam tadi menghabiskan biaya kurang lebih Rp.60.000.000).



Kontras ketika aku berada di kampung Code dengan anak-anak Code yang apa adanya. Sepertinya, sedikit waktu yang aku habiskan dengan anak-anak Code lebih banyak memberiku pelajaran daripada seharian yang aku habiskan di Seminar. Terus terang aku lebih bangga berada di balai kampung Code itu daripada di hotel bintang lima dengan orang-orang penting dan pintar. Mungkin ini idealismeku saja, tapi itu yang memang aku rasakan saat ini. Aku bangga melihat adik-adik yang masih tertawa-tawa dengan lepasnya dibanding ketika melihat tawa di seminar yang dibuat-buat. Aku lebih bangga berada bersama anak-anak itu untuk belajar bersama daripada di seminar dengan diriku yang dodol yang malas mendengarkan dan cuma belajar makan enak. Hehe tapi aku sadar sepenuhnya, tak ada yang (totally) jelek dan bagus, semua adalah proses pembelajaranku. Karena hotel berbintang dan kampung code sebenarnya tak ada bedanya. Keduanya juga Indonesia, keduanya memberi pelajaran tentang banyak hal padaku walaupun dengan kadar yang berbeda jauh.

Aku tetap ingin pergi ke seminar untuk cengengesan dan pergi ke Code untuk tertawa lepas…

Rembang "BANGKIT"?

Sekitar enam tahun yang lalu ketika pertama kali saya memutuskan untuk tinggal selama tiga tahun di Rembang. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan mengenai Rembang adalah bau amis yang sangat menggemaskan di siang hari -terutama di sekitar pantura, tapi itu pula yang membuat saya senang ketika berkunjung ke rembang karena saya tak pernah menemukan hal yang sama ketika ada di daerah lain. Saya juga sering pergi ke taman kartini dan pasar Rembang yang tak pernah berubah penampakannya. Sering ketika pulang ke kampung halaman, saya melewati daerah-daerah yang masih ada dalam Kabupaten Rembang seperti Lasem, Pamotan, Sarang dll. Saya sering membayangkan pembangunan (development) yang dapat dilakukan di daerah-daerah itu dengan Sumber daya yang begitu melimpah. Come on, apa gunanya pantai dan laut dengan segala hasilnya, batik Lasem yang cantik itu, masyarakat Tionghoa dengan berbagai budaya dan ceritanya, kalian punya segalanya! Itu yang selalu ada di pikiran saya.



Entahlah, Rembang bagi saya telah menjadi kota kedua selain kota kelahiran saya yang ingin saya perjuangkan. Tapi saya selalu ragu, apakah saya akan sendiri melakukannya?

Sekitar sebulan yang lalu saya mampir ke Rembang. Hehe Rembang masih sama seperti dulu. Yang beda hanya beberapa bangunan yang semakin banyak berjejer di tanah yang dulunya sawah –jalan pantura Lasem menuju Rembang. Itu yang kelihatan. Saya sendiri tak tahu pasti apa yang telah berubah dari Rembang, apakah semakin maju atau sebaliknya. Dari status seorang kawan, saya tahu kalau akan ada pemilu bupati di sana dan itu terlihat jelas ketika saya melihat begitu banyak poster calon Bupati yang ditempel di sepanjang jalan. Rasanya ingin tertawa karena saya sebagai orang yang pernah mengecap manisnya Rembang, tak mengenal calon-calon itu. Layakkah mereka untuk saya serahi tanggung jawab untuk memajukan kehidupan masyarakat di Rembang, terutama masyarakat kecil yang tidak terlalu mengerti intrik-intrik politik orang yang lebih pintar?

Lalu terpikir oleh saya: apa yang dapat saya lakukan? Kadang saya merasa sebagai orang luar, orang yang hanya pernah tinggal di Rembang ketika saya SMA. Dan karenanya,saya sering bertanya, apakah kawan-kawan saya yang memang lahir dan menghabiskan sebagian hidup mereka di Rembang juga punya rasa belongness terhadap daerahnya? Disadari atau tidak, Saya yakin iya!



Tulisan saya ini hanya sedikit rasa kekhawatiran saya menjelang pemilu Bupati di Rembang. Saya rasa, kita telah cukup pintar untuk tak lagi abai terhadap apa yang terjadi di Rembang, apalagi menjelang Pemilu. Paling tidak, ketika saya bilang “saya perduli terhadap Rembang, maka saya akan membuktikannya dengan perbuatan, dan saya yakin, kita sudah cukup dewasa untuk tahu yang terbaik yang bisa kita lakukan”. Sudah sejak lama saya mendengar slogan “Rembang BANGKIT” menjadi kebanggaan masyarakat Rembang, saya ingin itu menjadi kenyataan dengan adanya moment pemilihan oleh rakyat terhadap pemimpinnya. Semoga…

Thursday, April 1, 2010

Tur Pantai Yogyakarta-Purworejo

Sabtu yang lalu (tgl 28 Maret) aku bersama mantan mbak kosku melakukan tur pantai yang kami rencanakan mengunjungi 5 pantai sekaligus dalam sehari. Tiga pantai berada di Yogyakarta dan sisanya berada di Purworejo. Rencananya kami akan pergi ke pantai Parangtritis, Depok, glagah, Jatimalang, dan Keburuhan. Hahaha it will be long journey. Saking semangatnya, sabtu yang biasanya aku habiskan dengan ngebo (bermalas-malasan di atas tempat tidur), menjadi hari paling rajin selama aku berada di jogja. Hmm aku bangun jam 03.30 dan segera mandi. Gilaks, segitu semangatnya Bos!? Jam 04.30 kami pun berangkat dari kosku yang berada di daerah terban Yogyakarta untuk menuju destinasi pertama yaitu pantai Parangtritis. Karena masih pagi, cuma ada satu dua motor yang lalu lalang. Sepi. Begitu pula ketika motor yang butuh minum bensin ingin mampir ke SPBU, tak ada yang buka padahal tulisannya saja buka 24 jam. Dalam hati menggerutu, piye sih p*rt*m*n*, kok SPBU-nya banyak yang tutup? Untunglah ada penjual bensin eceran yang siap melayani, jadi motor pun akhirnya semakin kencang berlari. Saran maha pentingku, kalau mau berangkat pagi-pagi, isilah bensinmu malam sebelumnya.

Ketika melewati jembatan yang lumayan panjang, kamipun berhenti sebentar untuk menikmati pemandangan di sekitar jembatan tersebut. Hmm pemandangannya memang indah, apalagi kalau sudah terang. Di bawah jembatan itu mengalir sungai yang agak luas dan di sebelah kananya ada pegunungan yang membentang indah, bertumpuk-tumpuk seperti penampakan lukisan yang aku buat waktu kecil dulu. Aku yakin, sunrise di sini pasti akan menawan. Namun bayanganku terpecah berkeping-keping ketika seseorang yang gila sarap (maaf, PK maksudku) yang membuat jantungku serasa copot. Beneran! Untung aku tak melihat…hahaha



Tak berapa lama kami pun melanjutkan perjalanan –mungkin karena pengaruh shocking thing tadi kali ya. Sampai Parangtritis, pagi tak lagi gelap. Untuk masuk kesana, kami membayar Rp.6000 (ongkos masuk yang sebenarnya adalah Rp.7000) setelah kami tawar, hahaha. Sayangnya, matahari di Parangtritis tak memperlihatkan batang hidungnya karena tertutup tebing, dan baru muncul sekitar jam 07.00 ketika telah terik. Hah akhirnya pagi di Parangtritis cuma kami habiskan dengan memotret pemandangan tanpa sunrise. Saranku, kalau mau menikmati sunrise mending jangan di Parangtritis, kagak asyik cuy.





Ow ya, satu hal yang khas dari parangtritis adalah andong. Hmm bapak-bapak kusir akan ready mengantarmu menyusuri pantai Parangtritis dengan kudanya. Aku tak tahu berapa ongkosnya karena aku sendiri tak naik.



Setelah cukup terik, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pantai selanjutnya, ehem tanpa sarapan. Mungkin karena ulah perut yang mulai lapar, semangat kami untuk mampir di Pantai Depok surut dan memutuskan untuk langsung ke glagah sambil mencari makan. Kata teman seperjalananku, pantai depok tak jauh beda dengan Parangtritis, ya kayak pinang dibelah gergaji gitu dah, eh dibelah dua maksudnya. Satu hal penting kawan, pagi di jogja berarti Gudeg dan sepi, jadi makanan yang akan selalu kamu temui adalah gudeg. Syukur-syukur kalau kamu suka gudeg, maka makan pagi disana akan sangat nikmat, kalau tidak, maka kamu harus tahan dulu perutmu sampai agak siang ketika berjenis-jenis makanan telah dimasak. Begitu pun yang kami alami, sepanjang perjalanan menuju glagah, tak ada yang menjual makanan,kalaupun ada itu adalah penjual gudeg padahal kami tak terlalu berminat pada gudeg. Di Parangtrtis sendiri tak ada makanan yang dijual sepagi itu. Jadi menyesal kenapa aku tak membawa bekal sejenis roti atau makanan kecil.

Waktu itu hampir sampai glagah ketika kami memutuskan berbelok ke pantai Trisik yang tak terkenal sama sekali. Hmm mungkin karena tidak terkenal itulah, maka tak ada papan penunjuk yang representative. Kami pun sempat mengarungi jalan berbatu yang kami kira adalah jalan menuju pantai itu, tapi ternyata kami salah, ada papan penunjuk menuju pantai TRisik (namun kecil sekali dan warnanya senada dengan warna padi di sana) dan jalan yang telah beraspal untuk menuju kesana. Hoahahaha soooo wild! Itu kesan pertama ketika aku sampai di Trisik. Eh gimana gak wild wong ombaknya saja begitu besar dengan suara gemuruh yang menggelegar. Aku tidak bohong, pantai ini memang sangat ganas. Aku yakin, ketika banyak yang berenang disana, legenda Nyai Roro Kidung yang suka menyeret orang untuk dibawa ke kekerajaan bawah lautnya pun akan semakin tersohor karena ombak pantai tersebut memang tidak cocok digunkan berenang, bisa-bisa kamu akan terseret ombak yang guede itu. Aku pun tak melihat aktivitas sama sekali di sekitar pantai itu layaknya tempat wisata lain. Pun tak ada karcis untuk masuk karena tak ada yang jualan hahaha. Hanya ada puing-puing bangunan dan dikejauhan terlihat kapal nelayan. Sepertinya bangunan-bangunan tersebut pernah diterjang ombak. Padahal tak jauh dari bibir pantai, ada situs sejarah yang sayangnya tak begitu aku perhatikan.





Sebelum beranjak, aku melihat nenek-nenek yang tiba-tiba datang dan menuju bibir pantai. Aku sudah akan berlari dan menyeretnya sambil berkata “jangan nek! Walaupun nenek sudah tua, tapi nenek tak boleh mengakhiri hidup nenek secepat ini…!?” seperti di sinetron-sinetron, namun urung ketika aku lihat beliau memunguti sampah kayu di sekitar bibir pantai. Owwwhhhh so sweet…mungkin beliau akan menggunakannya untuk kayu bakar. Setelah memotretnya, aku pun bergegas menuju temanku untuk melanjutkan perjalanan.



Sampai pertigaan menuju Glagah, kami mampir di warung makan yang tak bisa disebut warung makan karena masakannya yang seadanya dan tempatnya yang teramat sempit, hanya ada satu kursi panjang. Kami pun makan nasi sayur dan ayam ditemani es teh (Rp.7000). Hmm walaupun sederhana seperti itu, tapi yummy…

Untuk masuk ke pantai Glagah, kami berdua hanya membayar Rp. 3500

Di sepanjang jalan menuju pantai, kami disuguhi pemandangan bangunan yang akan difungsikan sebagai pelabuhan. Oww ini tho pelabuhan di pantai glagah yang akan dibangun oleh pemerintah daerah Kulon Progo…batinku saat itu. Ketika telah memarkir motor dan menyerbu menuju pantai, kami tertegun oleh keindahan lagoon yang ada di daerah pantai itu. Ingin aku katakana dengan lantang bahwa lagoon itu sangat indah dan jernih. Di pinggirnya ada tempat duduk yang menggoda sekali untuk digunakan sebagai tempat berfoto sedangkan tak jauh darinya ada kapal-kapal yang siap disewa untuk mengantarmu menelusuri lagoon itu. Sayang sekali aku juga tak naik kapal itu padahal itulah yang khas dari Glagah.





Setelah menikmati keindahan lagoon, kami pun segera menuju pantai yang dari kejauhan terdengar bunyi ombaknya. Waww! Mau tidak mau, aku pun terkagum lagi terutama ketika melihat bongkahan material yang akan digunakan membangun pelabuhan. Ada jalan panjang untuk menikmati pantai secara langsung di atas bongkahan material berbahan dasar semen itu. Tak berapa jauh dari kami, ada rombongan remaja yang sedang bermain tarik tambang serta anak kecil pemberani yang gembira sekali berenang.







Ketika hampir meninggalkan Glagah, aku masih sepat memotret lagoon-nya yang bertambah indah ketika terik. Hmm satu kata untuk Glagah: KEREN!



Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Purworejo untuk menikmati sunset disana. Pantai Keburuhan segera terhapus dari daftar pantai kami karena tergantikan oleh alun-alun Purworejo dan es …Yap makan siang kami pun nikmat karena kehadiran soto dan es ireng. Btw, es ini khas Purworejo lho.



Waktu pulang, aku pun tertarik dengan pemandangan persawahan dengan latar pegunungan yang indah.







Sebelum menikmati sunset di Pantai Jatimalang, kami sempat mampir di perkebunan melon untuk merampok melon yang maknyus untuk kami bawa pulang. Hehe bohong deh, kebetulan temanku adalah pegawai di perkebunan itu, jadi kami dapat gratisan satu melon untuk kami bawa pulang.



Dan tibalah saat yang saya tunggu-tunggu yaitu sunset di Jatimalang. Kata teman saya, sunset di pantai ini indah sekali, begitu pula dengan pantainya, tak kalah dengan Parangtritis. Dan benarlah, pantainya memang keren sekaleeeee. Ini adalah salah satu pantai yang perlu dilestarikan dan dijaga keindahannya. Hah aku sempat risih waktu itu karena pemandangan yang indah itu terkotori oleh sampah-sampah pengunjung. Mbok dikasih tempat sampah gitu lho. Atau ada petugas khusus untuk membersihkan pantai itu. Bukannya ongkos masuk berfungsi untuk itu ya…Anyway, ngomong-ngomong tentang ongkos masuk, karena sudah sore, maka kami bisa langsung masuk tanpa bayar, gretongan Bos!







Damai, itu yang aku rasakan. Di kejauhan, aku masih dapat melihat matahari yang masih berpendar hangat. Di sekelilingku, muda-mudi sedang memadu kasih, dan tak jauh dariku, ada tawa anak-anak yang gaduh menyenangkan.





Setelah menunggu sekitar satu jam, sunset pun menjelang dan saat-saat itu pun begitu menyenangkan. Matahari merah semerah pipi gadis yang sedang malu dirayu kekasihnya (wuzzz bahasane rek)







Dan hari itupun aku tutup dengan berlari menuju motor kawanku karena dia tak sabar untuk meninggalkan tempat itu. Hmm dia bilang: “kamu tak kenal daerah ini nung, sebentar lagi, akan banyak anak muda yang mabuk di sini”. Aku pun mengalah dan segera meninggalkan matahari yang hampir tak terlihat lagi. Untuk terakhir kali aku menengoknya sambil mebatin dalam hati: “Terima kasih Gusti Allah, Kau memberiku kesempatan untuk bergaul dengan ciptaan indahmu hari ini.”