Tuesday, November 30, 2010

Sebuah Tor Wawancara

Suatu hari saya mendapat sebuah tor wawancara dari sebuah organisasi. Intinya, pertanyaan yang mereka ajukan masih seputar dunia tulis-menulis yang saya sukai dan esai saya yang berjudul "Mempertahankan Menjadi Indonesia". lengkapnya bisa dibaca disini http://secangkircoklatpanas.blogspot.com/2010/11/mempertahankan-menjadi-indonesia-di_04.html



Inilah, tanya-jawab yang membuat saya (cukup) kesulitan mencari jawabannya, namun memancing untuk kritis dan jujur.

1.Sejak kapan Ainur Rohmah menyukai dunia tulis menulis, esai, kolom? Selama menekuni dunia penulisan, pengalaman menarik apa yang Ainur temukan?

Ketika remaja, saya suka menulis diary. Ketika berada di bangku kuliah, saya suka membaca tulisan-tulisan salah satu dosen saya yang kebanyakan berupa esai. Dari sana, saya mulai tertarik lebih jauh untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, terutama esai.

Pengalaman menarik yang saya temukan lebih kepada proses ketika menulis itu sendiri. Saya mencari ide, bertemu dan bersosialisasi dengan objek yang ingin saya tulis, dan hal itu banyyak memberikan pengetahuan baru bagi saya. Misalnya ketika menulis tentang sebuah komunitas belajar di bantaran kali code, saya berusaha untuk mendalami mereka, merasakan bahwa saya adalah juga bagian dari mereka.

2.Menurut Ainur, apakah ketiadaan kurikulum life skill di pesantren memiliki kaitan tidak langsung dengan aksi - aksi sektarian seperti terorisme? Jika Ya, bagaimana hubungan keterkaitan itu?

Absolutely, menurut saya iya. Lebih tepatnya ini adalah sebab pendukung. Saya kira, banyak dari kita telah tahu bahwa sebab-sebab ekonomi –ketimpangan ekonomi lebih jelasnya, adalah hal yang membuat seseorang memberontak. Saya pikir itu pula yang terjadi pada orang-orang pesantren yang akhirnya menjadi teroris. Kehidupan mereka gersang dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif sehingga manifestasi dari frustasi tersebut berupa aksi radikal. Ketika mereka tahu setelah lulus mereka juga akan bekerja, maka mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih jelas. Mereka dapat menyusun cita-cita dan melakukan kegiatan layaknya orang yang kuliah atau sekolah pada umumnya.

3.Dalam esai, Anda menawarkan tiga solusi untuk mempertahankan pesantren agar tetap berada dalam bingkai k e- Indonesia-an: pertama, menjalankan kurikulum pendidikan perdamaian, baik sebagai materi pelajaran, maupun pendekatan PBM; kedua, mengembangkan metode berpikir kritis dan dialogis tentang kebinekaan di Indonesia; ketiga memasukkan kurikulum life skill sebagai bekal kehidupan begitu lulus dari pesantren. Bagaimana caranya agar pesantren salaf bisa menerima intervensi kurikulum tentang Islam Damai, atau Islam yang Rahmatan Lil Alamin, atau Islam Indonesia, sementara mereka membiayai pendidikan pesantren sendiri? Atau berdalih bahwa domain Kementerian Agama terbatas pada pendidikan formal yang dikombinasi dengan boarding school, MIN, MTS, MAN?

Ini sebenarnya bidang sensitive. Tapi percayalah pada saya bahwa uang dapat bicara banyak. Ikat mereka dengan memperlakukan pesantren sebagai mitra. Maksudanya bantu mereka untuk berkembang baik itu berupa uang, pelatihan, dan jaringan. Dekati mereka lewat pemimpin utamanya, yaitu kyai yang disegani di pesantren itu. Kalau pemimpin tertinggi sudah berteman pada kita, maka kebijakan pesantren tersebut kemungkinan besar dapat dimodifikasi dengan misi kita. Saya pikir, banyak pula pemimpin pesantren yang telah berpikir terbuka. Mereka mau mendengarkan asalkan kita menunjukkan kesungguhan untuk berniat baik. Ketika berniat intervensi, kita harus memperlakukan mereka sebagai mitra, bukan musuh atau pihak yang harus takluk, karena mereka adalah pihak independen yang perlu proses lama untuk “ditembus”.

4.Bagaimana pendapat Ainur Rohmah dengan kaidah usul fikih yang berbunyi "Wilayatul Khos Afdlalu min wilayatil aammah" dan hadits yang berbunyi khubbul waton minal iman? Apakah kaidah usul fikih dan hadits tersebut tidak mampu menumbuhkan kecintaan pesantren pada tanah air?

Sebelumnya saya tanya dulu, jangan-jangan mereka (orang islam ekstrem) malah tidak pernah menganggap Indonesia adalah negaranya sendiri? Lalu bagaimana mereka akan mengamalkan kaidah atau khadits tersebut kalau mungkiin saja mereka lebih merasa arab daripada Indonesia? Proses belajar di pesantren sifatnya sangat luas. Semua tergantung konten. Percuma saja slogan itu kalau para santri tidak pernah belajar apa itu Indonesia. Tidak perlu seperti pelajaran PPKN atau Pancasila yang katanya untuk mengetahui Indonesia, tapi cukup tentang realitas tentang negaranya ini. Apa yang perlu mereka perjuangkan dan apa kontribusi yang dapat mereka lakukan. Dulu ketika masa revolusi kemerdekaan, pesantren berperan banyak karena mereka mengalami apa yang terjadi saat itu, namun sekarang tidak. Mereka tiap hari belajar islam yang juga berarti arab. Lalu kenapa mereka harus merasa Indonesia?

5. Bagaimana kesan tentang Indonesia waktu masih SD dengan saat ini?

Saya tidak pernah mengerti apa Indonesia saat saya masih kecil. Saya tinggal di desa yang cukup terpencil dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang ketat. Saya rasa Indonesia adalah sebatas lingkungan rumah saya dan ibu kota kecamatan saya. Saya baru bertemu orang selain islam ketika saya SMA. Dan saya baru bertemu orang papua ketika saya kuliah. Duania saya begitu kecil sehingga saya tidak pernah mendapat gambaran nyata mengenai Indonesia kecuali lewat buku-buku pelajaran ketika SD sampai SMP. Saya kira itu pula yang dialami banyak anak muda yang berada di pesantren. Pemahaman mereka mengenai Indonesia sangat sempit ketika masuk ke pesantren sedangkan ketika mengenyam pendidikan disana, mereka setiap hari belajar untuk menjadi arab.
Kembali lagi pada kesan saya mengenai Indonesia. Saya merasa benar-benar terlibat dengan Indonesia ketika saya banyak menemukan realitas dan bergaul dengan isu-isu yang selalu dibicarakan di negeri ini. Saya mendapat pengalaman dari perkampungan kumuh di pusat kota Yogyakarta yaitu bantaran kali Code. Kemiskinan itu membuat saya terlibat secara emosi. Saya mendalami mereka dan menemukan bahwa ternyata saya bagian dari mereka. Dan mereka adalah juga Indonesia. Empati saya terbangun. Lalu pergaulan saya yang semakin luas dengan berbagai macam suku, agama dll. Itu membuat saya sadar tentang Indonesia yang beranekaragam. Tentang Indonesia yang serba kekurangan namun karena itu, harus diperjuangkan demi keadilan.

6. Apa harapan Ainur terhadap Indonesia di masa mendatang?

Saya ingin pemerataan ekonomi, pendidikan, hak dasar setiap warga negara terpenuhi. Tanpa kompromi. Memang sangat ideal, tapi itu bukannya tidak mungkin terwujud. Tugas mewujudkannya bukan hanya ada di tangan pemerintah, tetapi juga semua entitas bangsa ini. Saya ingin anak muda mulai perduli lingkungan terdekatnya. Mereka melakukan sesuatu, tidak hanya protes atau mengkritisi. Aksi aksi aksi!

7. Setiap orang mungkin tak jarang merasakan kebosanan, baik untuk belajar, maupun yang lainnya, punya ngga kiat mengusir kebosanan yang mengganggu proses kreatif?

Ketika mengalami kebosanan yang menghambat proses kreatif saya, saya biasa menghentikan aktivitas saya sebentar, pergi keluar rumah/kos, dan berjalan menikmati swasana kota. Banyak inspirasi yang datang dan memecahkan kebuntuan di otak. Saya tak ingin memaksakan diri mengerjakan apa yang tidak/belum saya kerjakan, perlu waktu sebentar untuk berhenti, dan melanjutkannya lagi ketika kita sudah siap.

Thursday, November 25, 2010

Berteman dengan Perbedaan

Percaya atau tidak, saya baru bertemu dan berinteraksi dengan orang non-muslim ketika telah berada di bangku SMA. Sebelum itu, saya hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Tuban, Jawa Timur, yang hidup di lingkungan yang sangat homogen. Setiap orang yang saya kenal adalah muslim. Dan keluarga saya adalah penganut agama yang ketat. Tidak pernah terbayang di benak saya tentang persahabatan dan interaksi lebih dekat dengan orang-orang yang tidak seagama dengan saya. Setahu saya, sedari kecil saya diajarkan untuk "berbeda" dengan mereka. Hehe, memang aneh tapi memang begitulah kenyataannya.

Saya pun lantas menganggap orang non-muslim sebagai zona tidak aman saya. Setahu saya, saya harus menjauhi mereka. Maka selama SMA, saya tidak pernah dekat dengan anak non-muslim meskipun saya tidak pernah mengganggu mereka. Namun saya selalu tertarik dengan mereka. Tertarik disini saya maksudkan dengan kecerdasan mereka dan keterbukaan mereka. Lantas, saya pun sering bertanya pada diri saya sendiri, apa salahnya berteman dengan mereka, toh mereka tak pernah memaksaku untuk masuk agama mereka? Sayangnya, niat itu tak pernah kesampaian karena saya keburu lulus SMA.

Sewaktu kuliah, saya sudah cukup terbiasa bergaul dengan orang non-muslim. Saya tak terlalu mementingkan apakah dia muslim atau tidak. Saya mulai terbuka dengan mereka. Tapi jangan salah, perlu keberanian bagi saya untuk membuka diri. Mungkin ini terlihat sepele, tapi untuk memutuskan "baiklah, aku akan bicara dengannya (non-muslim)dan tersenyum padanya" saja itu sudah sulit. Ini seperti tarzan dari hutan yang tidak pernah pergi ke kota namun suatu hari dia dibawa ke sana dan harus menggunakan telepon, makan pizza, dll. Intinya, itu semua asing dan sangat rentan terhadap rasa curiga.

Namun pengalaman memang selalu megajarkan banyak hal. Suatu hari sekitar setahun yang lalu saya harus mempresentasikan esai saya di sebuah universitas kristen di yogyakarta, tak lain adalah Universitas Sanata Dharma. Hah, saya tidak pernah membayangkan itu akan saya lakukan. Kesan pertama datang ke sana, saya terhantui oleh perasaan saya sendiri bahwa ini sama saja dengan masuk ke sarang penyamun. Saya tertekan oleh perasaan saya sendiri. Namun ketika tiba di ruang seminar, saya disambut dengan ramah. Sebelum presentasi, seorang romo memberi kata sambutan yang sangat menenangkan saya bahwa beliau menghormati perbedaan, semua sama di ruangan itu, tak ada yang lebih istimewa. Saya senang. Meskipun saya lah satu-satunya muslim di situ, tapi saya seperti punya teman yang mendukung saya, meskipun kami berbeda.

Setelah presentasi, ketika saya di suruh bicara di depan, saya berkata bahwa saya sangat bahagia diberi kesempatan berada di sana. semula saya merasa seperti orang asing, namun akhirnya saya merasa bahwa di situ saya dipertemukan dengan orang-orang baik. kami semua lega. Kami saling berjabat tangan dan berterima kasih.

Dan pengalaman lain pun datang setahun setelahnya. Beberapa hari ini saya membantu di posko Lingkar Muda yang mayoritas dari mereka beragama kristen. saya tidak pernah membayangkan nongkrong di sana sepanjang siang, lalu tanpa mengeluh mencucikan piring dan perkakas masak-memasak mereka. Kenapa saya ikut datang ke sana dan memutuskan untuk membantu? sebenarnya tidak hanya alasan posko mereka terorganisir dalam penanganan bencana merapi, tetapi juga naluri saya untuk lebih banyak bergaul dengan zona tidak aman saya. Saya ingin merasakan mereka. Saya ingin memberi kesempatan kepada diri saya untuk lebih banyak memahami, bukan selalu sibuk menjustifikasi.

Entahlah, saya pikir, saya sangat terlambat dalam hal-hal semacam ini. Ketika orang-orang tidak lagi mempermasalahkan hal-hal seputar agama, saya masih sibuk mencari celah untuk mengenal mereka. Namun kadang saya bangga pada diri saya sendiri bahwa paling tidak saya berusaha. Kenapa ini perlu? karena menurut saya, hidup ini kaya kalau kita berkehendak untuk membuka diri. dengan kaya, maka saya akan lebih bijak menentukan sikap dan mengambil pelajaran dari semuanya, itu arti hidup bagi saya.

Semoga proses ini tidak hanya berhenti di Lingkar muda, tapi di manapun dengan semangat yang sama.

Monday, November 15, 2010

Cerita hari ini (2)

Kalau saya boleh memilih, saya lebih suka sedih karena mengetahui sebabnya daripada merasakan itu tapi terlalu bodoh untuk mendeskripsikan apa sebabnya. Sejak kemarin, mood-saya jelek sekali, gampang meledak dan tersinggung. Masalahnya saya tak tahu kenapa...Teman saya sempat nanya apakah karena siklus bulanan, tapi saya pikir tidak.

Anyway, di jogja, sedang berkumandang suara takbir. Hmmm hariku lebih tak tenang lagi. Entahlah, sudah setahun lebih saya tidak merasakan apa itu lebaran dari hati. Saya terlalu alpa untuk menikmati lebaran sebagai proses yang penuh nilai. Saya sebenarnya rindu, tapi tak tahu harus mulai dari mana untuk membuat hati saya "seterisi" dulu. Agaknya, lingkungan saya sangat mempengaruhi cara berpikir dan bersikap saya, sehingga saya pun merasakan perubahan itu...

Terkadang saya berpikir tentang diri saya yang sekarang. Banyak sekali perubahan yang terjadi. Sekarang saya memang lebih banyak legowo menerima segala sesuatu, yaaa kadang sedikit dewasa dan tenang menanggapi tingkah-laku sekitar. Tapi saya juga tidak menyangkal kalau saya semakin keras kepala dan kadang merasa sebagai pihak yang paling benar. Saya tak tahu, tapi sikap saya itu terkadang bukannya menghindarkan saya dari konflik dengan orang lain, malah selalu menelurkan "persinggungan" dengan orang lain. Contohnya beberapa hari kemarin. Saya berkonflik dengan kakak saya yang paling besar. Selain sifat kami yang berbeda jauh, cara berpikir pun juga sangat berbeda. Saya tidak pernah cocok dengannya. Tindakan saya dimatanya selalu salah dan begitu pun sebaliknya. Terkadang saya heran...

Saya sudah minta maaf padanya beberapa minggu yang lalu namun dia tidak merespon. Yaa seharusnya saya tidak hanya mengsms-nya, tapi menelpon atau mengunjunginya. Namun nyali saya terlalu ciut untuk bilang langsung. Sebenarnya saya melakukannya lebih karena suruhan ayah saya. Saya tidak ingin kedua orang tua saya sedih melihat "kesenyapan" yang terjadi antara saya dan kakak saya. Suatu pagi ayah saya menelpon dan bilang bahwa sebagai orang yang lebih muda, hendaknya saya yang harus tahu diri meminta maaf duluan. itu etikanya. Hah tak tahulah, saya sebenarnya orang yang sangat tidak nyaman bersitegang dengan orang lain. Tapi kalau menciptakan ketegangan/konflik dengan orang lain sering sekali saya lakukan. Hahaha. Saya juga tidak mengerti. Saya selalu bikin konflik lalu menyelesaikannya sendiri. Meskipun kebanyakan saya yang memulai, tapi saya tidak akan meyimpan rasa benci terlalu lama. Intinya, saya tidak bisa membenci terlalu lama meskipun saya yang mengobarkan api konflik pertama kali. Hahahaha

Ini idul adha. Saya ingin bermaafan dengan kakak saya. Tadi malam sepertinya saya bermimpi tentangnya. Dan pagi ini hati saya sungguh tidak enak. Saya ingin menyapa, tapi gengsi dan ketidakberanian membuat saya lemah. Saya sudah pernah minta maaf, apakah saya harus mengulanginya lagi? Tidak mudah, sungguh tidak mudah.

Ah sudahlah, saya tidur saja...

Sunday, November 14, 2010

Menyentuh yang Tak Tersentuh

Hari sabtu minggu lalu mungkin adalah hari paling seru dalam sebulan ini. Saya buka tanggal itu dengan menjemput seorang teman dari Jakarta di stasiun tugu pada jam 02.00 dini hari. Hoho saya sebenarnya tidak berani, plus mata masih ngantuk, tetapi kasihan juga kalau dia terlantar. Namanya Maya, tepatnya Maya Wuysang. Saya kenal dia setahun yang lalu saat Kemah Menulis Tempo. Dia adalah tipe anak yang atraktif luar biasa, hebring, tapi sangat menyenangkan.

Setelah saya menjemputnya, kami menuju kos saya. Sisa hari itu pun kami manfaatkan mengobrol ngalor-ngidul. Dia cerita tentang KEM 09 dan beberapa gosip tentang petinggi Tempo. Hahaha. Pagi-pagi udah ngegosip aja. Lalu paginya, saya harus bergegas untuk melakukan pendampingan kepada anak-anak pengungsi di daerah Budi Mulia 2. Sementara itu, Maya jalan-jalan dengan teman lain yang juga dikenalnya.

Pendampingan anak berjalan dengan baik. Kami bernyanyi, bermain banana unite, dan mewarnai. Tentu tak ketinggalan, bagi-bagi hadiah berupa alat tulis kepada anak-anak itu. Sayang sekali anak-anak yang datang sedikit, jauh dari perkiraan sebelumnya. Saya pun sempat bergabung dengan kelompok pendampingan untuk orang dewasa. Mereka melakukan senam refleksi. Owww ternyata ikut senam ini menyenangkan. Badan jadi lebih enakan. Para orang dewasa, dan kebanyakan sudah manula, senang sekali mengikuti senam itu. Seperti saya, mereka merasa itu berguna untuk mereka. Saya pun berpikir, sebenarnya inilah saat-saat untuk kita memberdayakan mereka, memperkenalkan hal-hal yang mungkin baru untuk mereka agar itu nantinya dapat berguna bagi mereka. Inilah upaya untuk empowerment, bukan sekedar mengisi waktu mereka di barak pengungsian, bukan begitu?

Pendampingan selesai, saya pun langsung menuju stasiun Tugu untuk bertemu Maya dan Mas Islah (yang juga teman kami). Sebelumnya, mas islah telah memberitahu saya untuk bantu-bantu poskonya. Kebetulan mereka sedang kekurangan tenaga untuk mendistribusikan barang. Dan karena tidak ada kerjaan, hayok saja, hehe. Saya dan Maya dipertemukan dengan beberapa relawan yang kesemuanya mengurusi posko tidak tetap tersebut. Mereka adalah komunitas blogger yogyakarta. Setelah kenalan, mereka menawari kami untuk bergabung dalam tim pendistribusian barang ke daerah-daerah yang tidak terlalu tersentuh oleh bantuan. Tepatnya di kecamatan Ngluwar, Muntilan. Hoho, entah otak saya yang lagi hang atau karena melihat Maya yang luar biasa semangat, saya pun menyanggupi unutk ikut. Padahal saya tidak tahu medan sama sekali. Pun Muntilan selama ini adalah daerah yang terlihat sangat berbahaya dibanding dengan daerah lain.

Hampir jam 13.00 kami berangkat menuju pos di Gunung Pring, Muntilan. Di sana adalah basis pengungsian yang dikelola oleh para Mapala. Saya sempat menengok aktivitas anak-anak yang sedang bermain di salah satu ruangan yang difungsikan sebagai tempat belajar mereka. Ah hati saya tak tega mengatakan ini. Mereka sangat tidak terurus dan saya bayangkan, kegiatan yang mereka lakukan pun tidak terorganisir sama sekali. Anak berteriak-teriak, berlari, menggambar tidak teratur, dan semua serba berantakan. Sementara di luar ruangan, beberapa orang dewasa duduk-duduk sambil bengong, entah apa yang mereka pikirkan.

Kadang saya berpikir tentang sebuah mimpi. Saya ingin punya, kalaupun tidak punya tapi ada, sebuah organisasi yang khusus untuk penanganan selama dan pasca bencana. selama bencana, para delegasi, halah bahasanya, akan melakukan pendampingan kepada para korban (anak-anak, dewasa, manula) seperti memberi info (update) seputar bencana dan keadaan rumah yang mereka tinggalkan, melakukan program pendampingan yang bermanfaat untuk semua jenis umur pengungsi, dan megorganisir mereka agar tidak terlantar untuk mendapat haknya. Semua itu harus dengan perencanaan dan fokus yang jelas. Mereka harus jalan dengan step-step yang ditentukan sebelumnya dan dipastikan bermanfaat untuk para pengungsi baik itu selama maupun pasca bencana. This is the true education for displacement people.

Balik lagi ke Muntilan. Selain bertugas mencatat barang yang diturunkan (diberikan), saya juga membantu untuk menaikkan dan menurunkan barang dari dan ke atas mobil. Hahaha hari itu selain menjadi relawan dadakan, saya juga merasakan menjadi kuli panggul dadakan. It's not hard as I think before. Membantu itu tak seberat yang dipikirkan, kalau semua dijalani dengan senang.

Saat mengangkut barang-barang itu, saya melihat beberapa laki-laki dewasa yang hanya melihat saja. Malah beberapa wanita dan satu orang tua membantu kami mengangangkat kardus-kardus berisi barang. Sebenarnya hati ini dongkol, tapi sudahlah, toh kami masih bisa melakukannya sendiri. Beberapa saat kemudian ketika kami sudah selesai angkat-angkat, salah satu orang yang tadi hanya menonton mendatangi salah satu dari relawan, mas gembul, untuk berdiskusi tentang sesuatu. Barulah saya tahu kalau sebenarnya para penonton tersebut adalah warga desa asli (bukan pengungsi) yang juga merasa durugikan oleh bencana gunung merapi. Mereka gagal panen sehingga tak ada penghasilan sementara mereka tidak dapat bantuan seperti halnya para pengungsi. Intinya, mereka juga berharap ada sumbangan untuk mereka.

Inilah salah satu persoalan penting dalam hal-hal seputar pengungsian. Saya menggarisbawahi tentang konflik yang mungkin saja terjadi antara pengungsi dengan penduduk setempat yang desanya "ditumpangi" oleh pengungsi. Warga desa yang wilayahnya ditumpangi juga korban dari bencana, tapi mereka tidak mendapat bantuan. sementara ada orang-orang "luar" yang tinggal di daerah mereka dan bantuan datang bergantian. Takutnya, masalah yang terjadi bukanlah pengungsi berebut bantuan dengan pengungsi lain, tetapi pengungsi berebut bantuan dengan penduduk setempat. Apalagi masa-masa ini adalah masa sensitif, diprovokasi sedikit bisa timbul konflik. Paling tidak ini terjadi pada satu desa yang akan saya ceritakan selanjutnya.

Perjalanan berlanjut ke daerah-daerah yang lebih "terpencil" di kecamatan Ngeluwar. Hohoho pada saat di perjalanan, merapi sempat batuk-batuk sedikit. Asapnya terlihat jelas. Bagi saya, Merapi yang kelihatan gagah tapi juga indah itu terlihat sinis. Kontras dengan gunung menoreh di sebelahnya yang kelihatan tenang. Sebenarnya saya agak takut, namun mencoba tenang. Sementara itu abu terlihat menutupi semua pemandangan. Pohon kelapa yang daunnya kuncup ke bawah, pohon-pohon salak yang tumbang dan tertutup debu, rumah-rumah dan jalan pun begitu. Benar! persis seperti kota tua atau kota perang di Timur tengah.

Di pemberhentian pertama, kami mmenurunkan bantuan di Balaidesa Ploso Gede. Kami disambut oleh para mapala yang telah tinggal di sana untuk membantu distribusi barang, menjaga pos pengungsian, dan mengarahkan/memberi informasi kepada para relawan seperti kami yang langsung turun ke daerah-daerah terpencil. Saya sangat bahagia! saya mendapatkan anak-anak muda yang semangat membantu sesama. Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang pantas untuk diapresiasi keberadaannya. Mereka langsung turun ke lapangan, mengambil resiko, dan keberadaan mereka memang sangat bermanfaat, itu yang penting. Saya pun semakin optimis, kalau mereka dapat diberikan bekal untuk menghadapi bencana selama dan pasca pengungsian, maka akan lebih banyak lagi anak muda yang dapat diberdayakan semaksimal mungkin.

Selama sore dan malam itu, kami menurunkan dan menaikkan barang untuk disumbangkan kepada pengungsi. Pada pemberhentian ketiga, yaitu di dusun Ngemplak, kami disambut oleh seorang nenek yang ramah luar biasa. Rupanya dia adalah pemilik rumah yang ditinggali oleh puluhan pengungsi. Rumah yang memang besar itu cukup representatif untuk ditinggali banyak orang. Semua fasilitas ada seperti kamar mandi dan dua ruangan besar untuk tidur. Banyak hal yang berkesan selama mengunjungi pos pengungsian ini. Saya melihat setiap individu di sana berfungsi menurut spesialisasi masing-masing. Para ibu yang bertugas memasak, para relawan yang tinggal disana melakukan fungsi administrasi dan kontrol terhadap masuk dan keluarnya bantuan, serta pemilik rumah yang melayani para pengungsi dengan baik. Saya pikir, saya patut bangga tinggal di Indonesia karena semangat solidaritas ini. Siapa yang bisa membantu apa, dilakukan dengan senang hati.

Saya terharu ketika pemilik rumah yang dengan senang hati memperkenalkan saya dengan para pengungsi seperti kami semua adalah keluarga. Ya keluarga yang bertemu untuk bersilaturrahmi karena salah satu dari kami sedang tertimpa bencana. Saya rasa, Inilah modal sosial yang harus selalu dijaga yaitu semangat kekeluargaan.

Di sini pula saya mendapat cerita miris dari seorang pengungsi yang desanya terkena imbas letusan yang parah. Mereka gagal panen sehingga tidak mendapat penghasilan selama 6 bulan ke depan. Pun merugi karena uang mereka sudah habis untuk menanam padi yang seharusnya seminggu lagi mereka panen. "Terus nanti kami makan apa? semua habis" tanyanya pasrah pada diri sendiri. Hampir sebagian besar rumah di desanya rubuh. Pohon-pohon yang tumbang dan lumpur menutupi atap-atap rumah mereka. Di situ juga, saya melihat wajah-wajah kosong seperti sedang menerawang jauh. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya khawatir, akibat bencana merapi ini akan semakin banyak orang stres karena ketidakjelasan hari esok. Seperti pertanyaan salah satu pengungsi tadi, mau makan apa mereka kalau penghasilan tidak ada sementara bantuan akan habis. Belum lagi yang rumahnya rusak dan/atau hancur, mau tinggal dimana mereka. Saya pikir, ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah saja, tetapi juga semua elemen masyarakat. Seperti selama bencana berlangsung, pasca bencana juga menjadi ladang bagi semua pihak untuk berperan. Apa yang bisa dikontribusikan, mari dilakukan dengan serius. Contohnya, dalam masa ini pemerintah akan menjalankan programnya seperti bantuan modal kepada korban sehingga perlu pengawasan untuk memastikan bentuan tersebut sampai pada tangan yang memang berhak. Juga trauma healing untuk para korban agar mereka tetap optimis menghadapi masa depan. Kita harus selalu mendukung mereka untuk bertahan, itu sumbangan terkecil namun memiliki dampak yang sangat besar.

Berbeda dengan pemberhentian ketiga, di permberhentian terakhir, kami terlibat dalam sebuah kejadian yang sama sekali tidak saya perhitungkan sebelumnya.

Jam 20.00 kami tiba di pos pengungsian terakhir yaitu di SD Druju. sebenarnya pos ini sudah kami sambangi pada pemberhentian kedua, namun karena ada bantuan yang terlewat, maka kami mampir lagi ke sana. Ternyata di sana kami mendapat cerita dari warga bahwa sumbangan yang selama ini di drop di tempat itu, dipindahkan oleh beberapa oknum ke tempat lain yang mereka klaim sebagai pos pusat padahal pos pusat adalah balaidesa yang kami kunjungi pada pemberhentian pertama. Kebetulan, oknum tersebut adalah warga asli desa tersebut. Menurut pengakuan salah satu pengungsi, setiap barang yang datang selalu diangkut menuju pos mereka, dan ketika pengungsi meminta bantuan ke pos, tidak diberikan. Akhirnya, pengungsi menyuruh relawan yang ingin membantu untuk menitipkan bantuan kepada pos lain yaitu SDN i Plosogede yang bukan salah satu daerah kekuasaan para oknum tersebut agar sedikit demi sedikit dapat mereka ambil.

Malam ketika kami datang adalah puncak ketegangan. Sebagai pihak luar kami tidak berwenang ikut campur. Pihak-pihak yang bermusyawarah antara lain adalah kepala desa, perwakilan pengungsi, satu polisi sebagai pengawas, dan oknum pengkoordinir pos yang menurutnya berfungsi sebagai pos pusat. Pembicaraan berlangsung tegang. Permasalahan yang terjadi sebenarnya jelas, para pengungsi bingung bagaimana harus memposisikan diri. Di satu sisi mereka ingin haknya sampai pada mereka, tetapi di sisi lain, mereka tidak berani banyak menuntut karena mereka adalah sebagai tamu yang "menumpang" di desa itu. Padahal, pos pengungsian tersebut resmi karena sudah mendapat izin dari kepala desa. Sedangkan para oknum tersebut berpendapat bahwa sebagai tamu seharusnya para pengungsi melaporkan semua barang yang masuk dan keluar karena mengingat pos bentukan oknum tersebut adalah pos pusat.

Hal yang perlu saya garisbawahi adalah, inilah contoh permsalahan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. bayangkan, pengung-pengungsi yang sudah susah karena harus meninggalkan desanya harus mendapat masalah lain lagi seperti klaim mengklaim bantuan. Juga, tidak ada pihak resmi yang dapat membantu mereka untuk memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dengan penduduk setempat. Bukannya keadaan semakin baik, dikhawatirkan ini akan menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu, pengkoordinasian posko-posko haruslah jelas dan diupayakan selalu ada tindakan tegas dari pihak yang berwajib jika ditemukan permasalahan di lapangan yang tidak seharusnya. Polisi dalam hal ini sebenarnya adalah pihak yang cukup efektif sebagai pelerai, namun akan berfungsi sebaliknya apabila hanya menjadi pihak pendengar tanpa berkontribusi untuk penyelesaian masalah itu sendiri.

Akhirnya, tugas kecil saya berakhir ketika malam hampir larut. Saya senang. Tidak hanya pengalaman langka yang saya dapatkan, tetapi juga semangat dan mimpi-mimpi yang mungkin suatu hari dapat saya wujudkan.

Friday, November 12, 2010

Memotong Rantai “Kekerasan Gender” Melalui Pendidikan Perdamaian

Yang namanya jagoan, biasanya gak pake rok

(Sherina: Jagoan )

Ketika berbicara mengenai kesetaraan gender, terkadang otak saya langsung membayangkan tentang penyiksaan seorang suami terhadap istrinya yang tidak berdaya. Atau bayangan tentang sedikitnya perempuan yang ada dalam struktur pembuatan kebijakan di negara ini sehingga segala keputusan penting menyangkut nasib anak bangsa dan khususnya perempuan, diputuskan oleh laki-laki. Lalu saya berpikir, mengapa subordinasi dan kekerasan ini masih saja terjadi bahkan ketika kesetaraan gender telah banyak digembar-gemborkan? Paling tidak ketika presiden kita seorang perempuan. Percaya atau tidak, saya baru menemukan jawabannya ketika saya mendengarkan lagi lagu Sherina yang berjudul “jagoan” yang waktu itu menjadi soundtrack film Petualangan Sherina (2001). Walaupun sebenarnya, saya telah lebih dulu “ditempeleng” dengan banyaknya interaksi kekerasan gender di lingkungan dimana saya melakukan kegiatan sosial, yaitu di bantaran kali Code, Yogyakarta. Tulisan ini adalah semacam refleksi tentang berbagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender pada anak-anak di bantaran Kali Code yang dilakukan oleh sebuah komunitas belajar bernama Cemara.

Anak-Anak dan Permasalahan Gender

Setiap kali saya turun ke Code untuk melakukan bimbingan terhadap anak-anak di bantaran kali Code, saya sering menemukan interaksi yang bias gender yang berujung pada kekerasan. Misalnya, anak laki-laki dan perempuan selalu merasa sebagai musuh satu sama lain sehingga anak perempuan hanya akan bergaul dengan sesama jenisnya, begitupun sebaliknya. Ketika mereka terlibat dalam satu interaksi, biasanya yang terjadi adalah saling mengejek dan memukul. Saya rasa, hal itu tidak hanya saya temui di lingkungan code yang notabene “kurang berpendidikan”, tetapi juga di lingkungan anak-anak yang mapan secara ekonomi maupun pendidikan. Sedangkan bagi orang dewasa, tingkah laku tersebut hanya dianggap sebagai kenakalan anak-anak pada umumnya, tanpa berpikir tentang keberlanjutan kebiasaan tersebut apabila mereka telah dewasa.

Sebut saja nada, dia adalah salah satu anak yang ikut belajar bersama cemara. Dia selalu diejek oleh teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai gadis berkumis karena di bagian bawah hidungnya ada bintik-bintik hitam. “mana ada anak perempuan berkumis?”, saya sering sekali mendengar ejekan itu. Tidak hanya pengalaman Nada, kekerasan gender juga terjadi ketika anak laki-laki mengejek atau memukul anak perempuan, lalu anak perempuan akan melakukan hal yang sama dan aksi saling memukul pun akan terjadi. Saya pikir, bagaimana mungkin kekerasan gender tidak terjadi kalau sejak kecil saja anak-anak telah terbiasa saling mengejek dan mengkotak-kotakkan? Dan hal yang paling buruk dari itu semua adalah, kekerasan juga terjadi antara kelompok-kelompok anak perempuan. Lalu saya pun berpikir, anak-anak ini mungkin saja tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap sesama dan lawan jenisnya. Mungkin saja mereka belum mampu memaknai keberadaan dan peran mereka sebagai anak perempuan dan laki-laki sehingga apa yang mereka pikirkan adalah apa yang nampak secara fisik.

Seperti anak-anak di Code yang belum dapat memaknai peran mereka, saya pun masih belum mampu memaklumi fenomena sosial diatas sampai saya teringat lagu Sherina yang di dalamnya mempertontonkan aksi saling ejek antara anak laki-laki dan perempuan. “yang namanya jagoan, biasanya gak pake rok”, itu salah satu penggalan liriknya. Saya tidak sedang menilai jelek lagu itu, saya hanya berpikir tentang proses sosialisasi sejak kecil, yang diakui atau tidak, sangat mendukung adanya bias gender yaitu laki-laki dan perempuan masih dilekatkan dalam simbol-simbol tertentu dan itu mewakili peran mereka secara keseluruhan. Bagaimana mungkin anak-anak yang nantinya menjadi dewasa akan hidup dengan damai (setara) kalau dari kecil, mereka telah terbiasa mengecap aturan, pola, dan tingkah laku yang mencontohkan ketidakdamaian/ketidaksetaraan gender? Pola dimana ketua kelas dari dulu adalah laki-laki yang memimpin doa, mewakili lomba, mengatur barisan sebelum masuk kelas dll. Iklan di televisi tentang anak perempuan yang diganggu oleh anak laki-laki lalu muncul pahlawan yang juga laki-laki, sementara Si anak perempuan hanya menjerit tanpa dapat melakukan apa-apa. Banyak pembakuan peran tanpa penjelasan yang kadang sangat bias gender di sekitar kita.

Membiasakan Penyetaraan Gender Melalui Pendidikan Perdamaian

Menurut Cremin, pendidikan perdamaian jika dihubungkan dengan pendekatan berdasarkan keterampilan dan tingkah laku diartikan sebagai:

a global term applying to all educational endeavors and activities which take as their focus of promotion of a knowledge of peace and peace-building and which promote, in the leaner, attitudes of tolerance and empathy as well as skill in cooperation, conflict avoidance and conflict resolutionso that learner will have the capacity and motivation, individually and collectively, to live in peace with others
(Cremin, 1993).

Sebagaimana definisi di atas, pendidikan perdamaian yang Cemara terapkan di Code memiliki dimensi yang sangat luas, termasuk menyentuh ide-ide kesetaraan gender. Satu hal yang penting dari proses pendidikan tersebut adalah metode dan tujuan pengajaran yang berbasis pada nilai perdamaian. Menghormati perbedaan gender, agama, suku adalah sedikit contoh dari nilai-nilai yang berusaha cemara biasakan. Kenapa dibiasakan? Karena model pengajaran cemara tidak seperti sekolah pada umumnya. Tidak ada proses doktrinasi atau menggurui layaknya di sekolah formal dimana anak harus patuh, namun lebih pada pemberian contoh dengan tindakan yang sarat nilai.
Proses pembiasaan pun sangat sederhana. Misalnya, setiap anak memiliki hak yang sama untuk memimpin doa sebelum belajar bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika membuat kelompok, anak laki-laki maupun perempuan sengaja dicampur agar dapat berbaur dan bekerjasama. Dalam permainan pun, ada nilai-nilai yang berusaha cemara sampaikan tanpa anak-anak sadari. Misalnya ketika membuat permainan ular tangga, satu kelompok menulis tentang “ketika kamu berada dalam kotak ‘mengejek Nada’, maka kamu akan turun di kotak ‘tidak punya teman’.” Ketika membuat kolase dari kertas dan kotak bekas, tidak hanya robot laki-laki yang kami buat, tetapi juga perempuan. Lalu ketika cemara memberikan sesuatu semisal wafer, maka setiap anak akan mendapatkan jumlah yang sama tanpa pengecualian. Banyak sekali metode interaksi yang cemara terapkan dimana mekanisme dan tujuan berjalan beriringan.

Penutup

Perlu kita sadari bahwa pola ketidaksetaraan gender sebenarnya telah berlangsung bahkan ketika seseorang masih anak-anak. Sehingga ketika dewasa, orang telah terbiasa dengan proses sosialisasi yang telah mereka alami sejak kecil. Maka dari itu, kita harus mulai kritis dan melakukan koreksi terhadap pola tersebut dan menentukan langkah demi kesetaraan gender, terutama membiasakan damai gender sejak dini. Cara yang paling mungkin untuk dilakukan adalah melalui pendidikan perdamaian dengan metode dan nilai-nilai yang bernafaskan kesetaraan gender. Ibaratnya, kita sedang memotong suatu pola kekerasan (bias) gender dengan membiasakan pola pikir dan tindakan tentang bagaimana memposisikan lawan jenis sejak dini. Sehingga ketika seseorang telah dewasa, mereka tidak lagi mempertanyakan dan membicarakan tentang pelanggaran gender apa saja yang terjadi di sekitar mereka, tetapi lebih jauh, mereka telah beralih pada pembicaraan bagaimana seharusnya seorang lelaki/perempuan memperlakukan lawan jenisnya dengan lebih baik.

Referensi

Peadar Cremin, 1993, Education for Peace, Educational Studies Association: Berlin


Esai ini menjadi salah satu finalis dalam lomba menulis esai ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika) dan ada dalam buku kumpulan Esai "Asa Itu Masih Ada"

Cerita hari ini (1)

Pagi tadi saya buka dengan mengetik sesuatu. Rencananya tulisan, tapi saya ragu, apakah tulisan itu akan bagus atau tidak, ya belakangan ini saya semakin ragu untuk menulis, walaupun saya cukup produktif membuat notes di FB. Ah sudahlah, kadang mood menulis naik turun, tapi walau begitu, saya tak bisa menghindarinya, itu adalah hal yang paling mampu saya lakukan. Meletakkan otak saya dalam sebuah rangkaian kalimat.

Sekitar jam 07.00 saya mandi, cepat-cepat menyetrika kaos kesayangan saya yang akan saya pakai. Lalu meluncur ke rumah mbak ayu. Kabar baiknya adalah, saya sudah bawa motor, jadi saya tak perlu lagi menunggu jemputan siapapun untuk saya tebengi. hehe. kadang saya merasa menyesal juga, kenapa saya begitu menyerah pada keadaan dan beralih menggunakan satu barang bernama sepeda motor. Saya ingin tetap berjalan seperti biasa, ataupun nebeng seperti khasnya saya. Entahlah,,,

Di rumah mbak ayu, saya langsung dipersilahkan sarapan. Heheeh ibunya mbak ayu memang baik. Dia begitu ramah. Dan saya pun langsung terbiasa dengannya. Kami ngobrol tentang resep masakan yang dimasaknya. walaupun saya tak bisa masak, tapi saya sangat tertarik pada dunia perdapuran. Kalau boleh berangan-angan, suatu saat nanti ketika saya sudah menikah, saya ingin benar-benar belajar memasak. Saya ingin suami saya kelak makan masakan saya, bukan masakan pembantu, hehehe.

Balik lagi ke rumahnya mbak ayu. Ibunya mbak ayu bercerita banyak tentang passion anak-anaknya dalam hidup. Ketika anaknya ingin berkembang dan belum ingin bekerja dan/atau mengikatkan diri dalam satu institusi pun, maka beliau akan tetap mendukung. Hah saya menemukan satu orang tua lagi -selain bapak saya, yang juga berpendapat seperti itu. Saya pikir, kamilah anak-anak yang beruntung itu, yang memiliki orang tua bijaksana dan mau mengerti keinginan anaknya. saya selalu sayang orang tua yang seperti itu...

Waktu sudah menunjukkan hampir jam 09.00 ketika motor kami sudah terparkir di Budi Mulia 2. Sekolah elit itu. Rencananya hari ini, saya dan kawan-kawan CEMARA akan mengadakan briefing sekaligus bantu-bantu posko bencana merapi. Maka pekerjaan pertama adalah membungkus nasi sebanyak 1800-an bungkus. siap-siap dah tangan beraksi. Awal-awal semua berjalan lancar, lama-kelamaan kami semakin menggila karena waktu sudah siang sedangkan masih banyak yang perlu dibungkus. Maka tangan dan badan pun semakin menggila. Kami semua kecapaian. Haha ternyata membantu itu susah juga ya,,

Lalu diteruskan briefing bersama anak-anak Budi Mulia untuk pendampingan anak pengungsi esok hari. Saya pikir mereka akan antusias, eh ternyata, saya salah duga. Mereka ogah-ogahan bantuan kami untuk mengisi kegiatan pendampiangan anak. Ada tugas bejibun katanya. Mereka merengek-rengek. Saya diam saja. Dalam hati kesel juga, tapi mau bagaimana lagi. Saya lebih suka meninggalkan orang yang belum terketuk membantu daripada memaksa mereka. Kami pun tak bisa membujuk, toh itu bukan hak kami untuk melakukannya, apalagi dalam aksi sosial. salah satu guru mereka pun datang dan memberi pengertian kepada mereka untuk mengikuti kegiatan besok. Beberapa dari mereka pun setuju untuk ikut ambil bagian.

Sebenarnya, CEMARA memiliki concern tersendiri dalam hal ini. Kami ingin menyebarkan semangat untuk berempati kepada sesama. Kami ingin anak-anak muda itu, memiliki kesadaran untuk berperan terutama dalam program pendidikan anak yang sifatnya lebih sustainable. Yap, saya setuju itu. Walaupun saya terkadang pesimis. Di satu sisi saya merasa menemukan ironi dimana banyak anak yang tercukupi dalam hidupnya namun tak berkehendak untuk sedikit saja meluangkan waktu untuk berbagi dengan orang yang lebih tidak beruntung. Namun di sisi lain, saya juga paham benar bahwa anak-anak kaya itu mungkin saja tidak merasakan susah dalam hidupnya. Keinginan mereka selalu terpenuhi sehingga hidup yang nyaman itu membentuk mindset bahwa "everything is all right". Dunia mereka adalah tawa, itu yang merek tahu...

Walau saya kecewa, namun saya tetap memaksa diri saya untuk berada di sana. Entahlah, bisa saja saya meninggalkan tempat itu, namun saya tak tega...

Dan sore hari tadi saya bertemu mbak silmi. Kami diserahi tugas CEMARA untuk berbicara dengan pihak masjid Syuhada dan cak ngabdul. Yaa kami butuh tempat untuk belajar-mengejar. Balai tempat kami biasa mengajar belakangan sering digunakan oleh penduduk untuk ronda karena keadaan code yang masih rawan. Jadi kami harus mencari tempat alternatif lain agar kami tetap dapat belajar bersama. Asrama Syuhada menolak, namun mereka menyarankan untuk bertanya pada pihak masjid Syuhada saja. Entahlah, harapanku cuma satu, CEMARA memiliki tempat belajar yang permanen, itu yang paling saya inginkan untuk saat ini.

Setelah menemui pengurus Syuhada, kami menengok anak-anak di Code. Sebenarnya saya memang berniat untuk melihat keadaan terakhir kali dan anak-anak. Memang benar! timbunan material begitu tinggi. Saya tidak menyangkan Code akan menjadi sedangkal itu. Saya melihat Ningsih dan Nada sedang berenang di kali itu. Mereka memanggil-manggil saya mengajak mandi di kali bersama mereka. Haha kalau seandainya saya masih kecil, saya pun mau. Kalau sudah besar seperti ini, malu. Walaupun sebenarnya tertarik juga.

Selain Ningsih dan nada, banyak anak-anak lain yang juga bermain-main di sana. Mereka begitu ceria. Seakan banjir dan lahar dingin itu, adalah hal biasa yang nanti akan lewat begitu saja. Ya, sekali lagi, anak-anak tetaplah anak-anak, sesusah apapun lingkungan di sekitarnyya. Makanya, saya selalu suka dunia anak, tak pernah susah...

Dan malam ini saya merasa agak sedih. Saya tidak tahu kenapa. Banyak sekali yang saya pikirkan. Pun keadaan saya yang sangat capek membuat seluruh tubuh kaku. Saya sempat menitikkan air mata, namun sedikit. Mungkin saya cuma butuh istirahat.

Semoga semua akan selalu baik-baik saja...

Thursday, November 4, 2010

Lebih Dari Sekedar Tempat Membaca (2)

Lanjutan...

Andaikan Semua Perpustakaan Menyenangkan

Keunikan perpustakaan di depan rumah saya mau tidak mau sering mengusik pikiran saya. Banyak hal berbeda yang saya rasakan ketika saya mengamati perpustakaan di desa saya dengan “perpustakaan pada umumnya”, semisal perpustakaan di SMA atau kampus saya. Di “perpustakaan pada umumnya”, semua diam dengan penjagaan yang ketat. Saya faham sepenuhnya bahwa perpustakaan merupakan tempat membaca dan oleh karenanya perlu ketenangan di dalamnya. Namun disadari atau tidak, saya lebih sering merasa bosan dan bahkan menganggap keadaan tersebut menegangkan dan suram. Selain itu, perpustakaan tidak pernah dianggap sebagai tempat yang friendly untuk semua orang. Misalkan saja, banyak dari teman kampus saya yang mengkategorikan tipe-tipe anak yang sering pergi ke perpustakaan sebagai orang yang serius, pintar, memakai kaca mata tebal dll. Lalu anak-anak yang tidak dalam kategori tersebut menjadi tidak merasa perlu bahkan menjauhi perpustakaan. Tentu hal tersebut pantas disayangkan, padahal perpustakaan bukan hanya milik anak yang berkaca mata tebal.

Lalu bagaimana membuat perpustakaan tersedia untuk semua? Saya rasa kita perlu mengubah paradigma ataupun ruang lingkup pengertian perpustakaan yang sangat sempit tersebut. Pengertian yang saya tangkap selama ini adalah perpustaan tidak lebih dari sebuah ruangan yang didalamnya tersimpan banyak buku karangan para penulis dari zaman dulu sampai sekarang, sepi, dan hanya perlu datang ketika benar-benar terpaksa, semisal ketika harus menyelesaikan skripsi atau tugas. Paling tidak itulah anggapan saya. Jauh di lubuk hati saya, saya ingin mengubah anggapan yang terlanjur tertanam tersebut. Saya sering bertanya, kenapa perpustakaan tidak dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan seperti halnya yang terjadi di Madrasah Nashirul Ummah? Tempat untuk berdiskusi, menciptakan hal-hal baru semisal tulisan ilmiah atau bahkan diary, mungkin pula membuat club-club bacaan yang sesuai dengan minat pengunjung dll.

Tidak gampang untuk mengubah atau menjadikan sebuah sistem yang telah sustain berubah. Permasalahan yang paling umum saya temui di perpustakaan sehubungan dengan interaksi antara perpustakaan sebagai sebuah bagian dari institusi pendidikan dan pengunjung sendiri adalah minimnya kepercayaan (trust) pihak perpustakaan terhadap pengunjung. Ketakutan adanya pengutil atau pencuri koleksi perpustakaan menjadi justifikasi terhadap ketatnya pengamanan di perpustakaan. Misalnya tidak diperbolehkannya peminjam membawa buku atau jaket ke dalam perpustakaan. Terkadang hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman bahkan ketidaknyamanan Si pengunjung sendiri, sehingga membuat mereka semakin malas pergi ke perpustakaan. Bagi pengunjung sendiri, hal tersebut menggiring mereka pada sikap free riding karena tidak adanya perasaan kepemilikan dan tanggungjawab bersama untuk memelihara keberlangsungan perpustakaan.

Apabila di perpustakaan Madrasah tadi mekanisme trust dilakukan karena adanya perasaan saling memiliki public goods, maka di perpustakaan yang “minim rasa percaya” juga dapat diterapkan prinsip yang sama. Mekanisme yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan resep di Madrasah tadi yaitu memberikan alternatif cara pandang baru dengan menganggap perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dimana kita dapat berkontribusi dalam bentuk apapun dan oleh karenanya perlu kita jaga bersama-sama. Yang terpenting menurut saya bukanlah apakah mekanisme itu akan berhasil atau tidak, namun seberapa besar kepercayaan kita terhadap terlaksananya mekanisme tersebut.

Selain menanamkan trust antara kedua belah pihak, juga perlu adanya upaya pengubahan karakter dan identitas perpustakaan. Perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan available bagi setiap orang merupakan citra dan identitas yang harus selalu disosialisasikan. Tidak penting apakah seseorang akan menerima persepsi tersebut atau tidak, namun ketika seorang pustakawan mengatakan “datanglah kesini lagi mbak/mas”, maka menurut saya hal tersebut adalah proses sosialisasi yang akan selalu membekas di otak seseorang (repeated behaviour). Sekali lagi, saya tidak menganggap sistem yang ada di perpustakaan selama ini salah, namun saya sebenarnya pesimis terhadap eksistensi perpustakaan yang semakin terabaikan karena selama ini yang ada di benak kita adalah “pergi ke perpustakaan untuk membaca”. Lain ketika saya melihat fenomena di Perpustakaan Madrasah di depan rumah saya, perpustakaan adalah suatu hobi, teman, dan tempat yang asyik. Paling tidak itulah keteladanan yang ingin saya tekankan pada bagian kedua ini.

Belajar Character Building dari Sepetak Ruangan

Ketika berbicara pembentukan karakter atau dalam bahasa kerennya character building, maka mau tidak mau ingatan saya tertuju pada sosok pendidik kita yang tersohor, Ki Hajar Dewantara. Dalam proses pembentukan karakter, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana mendidik seseorang (terutama di institusi pendidikan) agar tidak hanya pintar tetapi juga “berwatak”. Oleh Ki Hajar Dewantara dirumuskan dengan tiga kata yaitu cipta, rasa, dan karsa. Ketiganya lebih lanjut dijabarkan sebagai tiga langkah dalam proses pendidikan watak yaitu: langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Berdasar analisis ini, character building pada dasarnya adalah membimbing seseorang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai yang Profesor Phenix katakan sebagai “voluntary personal commitment to values”.

Perpustakaan di Madrasah kecil depan rumah saya mau tidak mau telah membuat saya terkagum. Ada banyak makna yang tidak hanya dapat dideskripsikan dengan materi, jauh dari itu, ada unsur pendidikan watak di dalamnya. Bayangkan saja, bagaimana mungkin anak-anak di Madrasah tersebut dengan sukarela mematuhi peraturan tanpa ada unsur paksaan? Dan saya pikir jawabannya sederhana saja. Mereka telah melewati langkah terakhir yang oleh Phoenix disebut sebagai voluntary personal commitment. Komitmen sendiri didefinisikan sebagai langkah atau tindakan yang diambil dalam rangka menopang suatu pilihan tindakan tertentu, sehingga pilihan tindakan tersebut dapat dijalankan dengan mantap dan sepenuh hati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pilihan anak-anak untuk mencintai perpustakaannya ditopang oleh komitmen antara lain identitas bersama sebagai pemilik public goods. Sedangkan mekanisme dari internalisasi terhadap komitmen tersebut secara langsung ada dalam tahap penghayatan nilai.

Nilai-nilai kejujuran, kekerabatan, dan aktualisasi diri merupakan character building yang secara tidak sadar sedang dibangun di Perpustakaan Madrasah tersebut. Saya kira, nilai-nilai tersebutlah yang sedang dirindukan oleh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Dan alangkah indahnya kalau karakter tersebut ditanamkan sejak dini. Cara penanamannya sendiri tidak harus dengan cara-cara revolusioner dan terkesan memaksa (coertion), tetapi dengan cara-cara yang mereka suka sehingga pada gilirannya, akan secara sukarela mereka ikuti.

Penutup

Saya telah belajar banyak hal dari perpustakaan sebuah Madrasah kecil di desa saya. Di dalamnya saya dapat menemukan sebuah perpustakaan yang sedang saya rindukan yaitu perpustakaan yang asyik tetapi juga bermanfaat. Lebih jauh, perpustakaan tersebut juga mengajarkan tentang pentingnya mekanisme selain substansi, artinya makna perpustakaan bukan hanya sebagai tempat untuk menimba ilmu dari buku, tetapi juga sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter generasi muda. Melihat anak-anak yang senang berada di Perpustakaan Nashirul Ummah mau tidak mau memberi harapan baru bagi saya yaitu harapan akan munculnya perpustakaan-perpustakaan sejenis. Bayangkan apabila sekolah-sekolah yang tidak memiliki perpustakaan (layaknya MI Nashirul Ummah dulu) mulai merintis hal yang sama, maka akan lebih banyak generasi penerus bangsa yang memiliki kepintaran otak dan watak seperti halnya yang diidamkan Ki Hajar Dewantara dan saya tentunya. Semangat!?

Referensi


Buchori, Mochtar, “Pendidik”, Kompas, 04 Maret 2007, diakses di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm pada 09-11-2009
Elster, John (1989), The Cement of Society: A Study of Social Order, Cambridge, MA: Cambridge University Press

Kollokc, Peter (1998), “Social Dilemmas: The Anatomy of Cooperation” dalam Annual Review of Sociology

Panggabean, Rizal (2008), ‘Komitmen dan Dekomitmen’, Hand out Kelas Strategi, HI UGM
Saimpson, Erica (2001), “Games, strategies, and Human Security”, Monitoba: Canadian Peace Research and Education Association



Selesai_

Lebih Dari Sekedar Tempat Membaca

Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai yang diadakan oleh universitas sanatha dharma dan berhasil memenangi juara 1.

Ada sebuah sekolah madrasah kecil di desa saya, tepatnya di depan rumah saya. Nama Madrasah tersebut adalah Madrasah Nashirul Ummah, Leran Tuban. Keadaan bangunan sekolah itu cukup memadai meskipun banyak coretan dan cap tangan kotor di temboknya. Sekolah itu mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi dimana setiap kelas hanya diisi 9-10 anak. Setiap tahun ajaran baru, Madrasah itu jatuh bangun ‘merayu’ anak-anak di desa saya yang masih malas-malasan sekolah untuk bersedia bersekolah disana. Tapi saya tidak akan membicarakan tentang kemuraman di Sekolah itu meskipun tidak akan habis kalau diceritakan. Saya lebih suka membahas semangat, keceriaan, dan kecerdasan setiap hal di sekolah itu. Anda tahu sumbernya dari mana? Dari sebuah ruangan sempit apa adanya yang disebut maktabah dalam bahasan arab, atau perpustakaan dalam bahasa Indonesia. Saya akan menceritakannya untuk anda, sebuah cerita tentang kejujuran dan keteladanan yang berasal dari ruangan yang bernama perpustakaan. Tulisan ini akan dimulai dari cerita sederhana mengenai sebuah perpustakaan di desa saya, lalu saya akan memposisikannya sebagai sebuah teladan bagi “perpustakaan pada umumnya” -yang sering saya temui, dan terakhir, saya ingin memberi pemaknaan terhadap Perpustakaan di desa saya yang telah saya ceritakan sebelumnya, yang saya kira akan membantu pembinaan watak (character building) anak-anak bangsa terutama mereka yang ada di desa saya.

Bermula Dari Kelangkaan

“Ayo masuk ke maktabah!”
Saya sering mendengar kalimat itu ketika bel istirahat berbunyi di Madrasah depan rumah saya. Dan anak-anak akan berlarian ke dalam sebuah ruangan sempit yang berukuran kurang lebih 5x5 meter, jauh lebih sempit dari perpustakaan pada umumnya. Tidak banyak buku disana, kalau biasanya perpustakaan identik dengan buku, di perpustakaan itu jarang terlihat buku. Ada beberapa buku seperti kitab pengantar bahasa arab, aqidah akhlak, sedikit buku IPS dan IPA yang saya yakin akan membosankan bagi anak-anak itu. Tapi disana ada papan catur lengkap dengan bidaknya, permainan monopoli, kertas-kertas lebar dengan gambar pegunungan dan matahari di tengahnya, kertas-kertas yang telah dipotong kecil-kecil dengan bentuk baju, makanan dan lain-lain. Sungguh sederhana. Hal yang membuat saya terkagum adalah, semua itu karya mereka! Semua tersimpan rapi di dalam perpustakaan itu. Ketika saya bertanya tentang hal diatas, Pak Badrudin, seorang guru paruh baya yang mengurusi perpustakaan itu menjelaskan dengan canggung. “Murid-murid yang mengisi perpustakaan ini Mbak, bukunya sedikit”.

Jawaban tersebut cukup menggelitik hati saya. Ternyata semua berasal dari kelangkaan, sebuah keadaan yang akhirnya memancing anak-anak di sekolah tersebut untuk berbuat “sesuatu”. Kurangnya buku di perpustakaan tersebut tidak lantas membuat para guru dan murid berpangku tangan. Ibaratnya kalau tidak dapat menimba ilmu dari bermacam-macam buku, mereka dapat menciptakannya dari pengalaman pribadi, cerita, bahkan mimpi-mimpi mereka. Saya ambil contoh, setiap hari selalu ada jam khusus yang diperuntukkan bagi murid-murid untuk belajar bebas di perpustakaan tersebut. Saya sering mengamati mereka berkerumun, ada yang bercerita tentang keluarga atau kegiatan mereka di akhir pekan, ada yang bermain catur, membaca, menulis cerita atau hanya sekedar bercanda. Mereka senang melakukannya. Ketika saya bertanya tentang keadaan yang tidak umum itu, Pak Badrudin menjawab sederhana “Belajar bisa dari mana saja mbak, tidak hanya dari buku. Dari kehidupan sehari-hari juga bisa dijadikan pelajaran.”

Menurut Pak Badrudin, berawal dari diskusi tersebut, anak-anak lebih dapat mengekspresikan diri. Mereka ceria karena senang dengan metode yang mereka lakukan, tidak ada batasan apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan. Anehnya, hal tersebut tidak membuat mereka lupa belajar, namun membuat mereka tergiring untuk melakukan hal-hal kreatif seperti menciptakan hasta karya, berpikir kritis semisal saling mengkritik kegiatan teman lain, dan hubungan kekeluargaan yang terlihat erat diantara mereka. Tentu masih ada anak-anak bandel yang kadang berulah seperti mengganggu teman yang lain atau merusak hasil karya teman yang lain, tapi mekanisme yang diterapkan pun tidak lantas membuat Si anak merasa diadili, tetapi dengan beberapa step seperti yang diakui Pak Badruddin. “Kalau ada yang merusak hasil karya temannya, yang menghukum ya teman mereka sendiri. Misal disuruh bernyanyi atau membuat hasta karya tandingan.” Lanjut beliau, hal tersebut jarang sekali terjadi. Selain karena takut dihukum oleh teman sendiri, anak-anak tersebut juga mengincar hadiah (seringnya berupa seperangkat alat tulis-menulis) yang diberikan setiap akhir semester bagi anak-anak yang aktif, taat peraturan dan kontributif.

Mungkin bagi kita yang tidak terlibat secara langsung dalam mekanisme tersebut akan menyangsikan keefektifannya. Bagaimana mungkin hal tersebut dapat berlangsung? Saya cukup mendapat jawabannya ketika membaca tulisan Simpson (2001) yang saya pelajari dari mata kuliah strategi di jurusan saya. Menurutnya, apabila seseorang ada dalam suatu keadaan yang penuh dengan kemungkinan defection (kecurangan dan non-kooperasi), salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengubah kemungkinan defection tersebut adalah dengan menciptakan dan/atau memelihara komitmen, yaitu dengan mekanisme reward dan punishment, threat dan promises. Tampaknya reward dan punishment lah yang banyak berlaku dalam interaksi diatas.

Saya juga sering bertanya-tanya bagaimana mungkin anak-anak yang pada umumnya butuh diatur dapat dengan sendirinya mengorganisir diri mereka sendiri? Setelah saya cari tahu, ternyata mekanisme ‘komitmen’ tersebut telah berlangsung lama dan selalu mengalami pengulangan (repeated behaviour). Tepatnya sejak tahun 2000-an, Madrasah di depan rumah saya tersebut merintis perpustakaan yang unik tersebut. Kenapa unik? Saya melihatnya sebagai suatu hal yang unik karena murid-murid lah yang memiliki andil besar dalam keberlangsungannya dan tetap bertahan dengan peraturan yang ada. Meskipun berkembang dalam lingkup yang sangat kecil, namun pada kenyataannya perpustakaan tersebut dapat terus hidup dengan kegiatan yang bermacam-macam. Mungkin tidak hanya sebagai perpustakaan, tetapi lebih dari itu, dari perpustakaan tersebut muncul kegiatan-kegiatan lain semisal olah raga (catur), story telling, dan pembuatan kerajinan tangan.

Tidak berhenti di sana, kejujuran sebagai sebuah nilai juga menjadi nafas perpustakaan tersebut. Hampir sebagian koleksi baik itu buku, peralatan untuk membuat keterampilan maupun hasil hasta karya para murid tidak pernah hilang atau dicuri, kalaupun tidak ada itu karena rusak. Kalau saya amati, hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan ‘pemilikan bersama’ atau dalam bahasa Kollock (1998) disebut sebagai sebuah aksi kolektif untuk pemeliharaan public goods. Public goods dalam pembahasan di atas misalnya adalah buku-buku, hasil kerajinan tangan, alat-alat belajar dll. Public goods tersebut merupakan milik bersama karena yang membuat adalah mereka sendiri (atau paling tidak mereka gunakan bersama) sehingga keadaan tersebut akan membentuk identitas bersama yaitu sebagai pemilik barang-barang yang harus dilindungi.


Bersambung...

Mempertahankan ”Menjadi Indonesia” di Pondok Pesantren

Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai pemboman yang terjadi di tanah air tercinta Indonesia yang dilakukan oleh para teroris yang berkedok pembela agama Allah. Bom Bali I dan II, dan yang terakhir adalah pemboman di Hotel J.W Mariot dan Ritz Calrton adalah sedikit contoh aksi Bom bunuh diri yang dilakukan oleh anak bangsa di tengah carut-marutnya perekonomian dan kemiskinan yang melanda bangsa indonesia. Hal yang menyakitkan dari fenomena ini adalah bahwa aksi tersebut dilakukan oleh orang yang lahir dan dibesarkan di bumi Indonesia dan dididik ditengah ajaran agama mayoritas penduduk Indonesia, yaitu Islam. Tak pelak, institusi pendidikan pondok pesantren menjadi tersangka utama dan belakangan mendapat sorotan dari pemerintah maupun masyarakat umum dikarenakan beberapa pelaku bom adalah jebolan dari pondok pesantren tertentu. Memang yang terlibat dalam pemboman adalah ponpes itu-itu saja, namun bukannya tidak mungkin melihat dinamisasi politik nasional dan internasional, banyak ponpes sejenis yang akan bermunculan. Esay ini merupakan representasi pengalaman, keprihatinan, dan harapan penulis mengenai nasib ”nasionalisme” yang dimiliki anak-anak bangsa Indonesia yang dididik dalam lingkungan pondok pesantren. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberi label atau justifikasi pada satu institusi atau perseorangan, namun lebih pada sikap kritis terhadap fenomena yang telah penulis alami (secara riil) serta sebisa mungkin memberi alternatif pemecahan masalah.

Masih Adakah Nasionalime di Pondok Pesantren?

Sedari kecil, saya telah akrab dengan kehidupan pondok pesantren (ponpes) karena kebetulan di belakang rumah saya berdiri pondok pesantren. Selain itu, saya dan ketiga saudara saya juga merupakan jebolan pondok pesantren. Sebagaimana lagu populer tentang kehidupan para santri, pada kenyatannya memang demikian adanya dimana kegiatan yang utama adalah mengaji dan bersosialisasi antar murid dengan sikap yang sebisa mungkin islami. Lalu dimanakah tempat penghayatan nasionalisme terhadap negara indonesia ketika setiap hari yang mereka pelajari adalah kitab kuning berbahasa arab atau tentang surga dan neraka? Ini pertanyaan menggelitik bagi saya karena jawabannya pasti akan terdengar klise seperti: karena di pondok pesantren memang yang diajarkan adalah pelajaran agama untuk memperoleh surga. Lalu bagaimana kalau kunci surga itu bisa saja adalah tindakan yang merugikan bangsa dan negara? dan hal inilah yang menjadi kegelisahan semua orang karena para teroris belakangan menggunakan kedok surga untuk membenarkan tindakannya.

Ketika belajar di ponpes, disadari atau tidak, saya lebih merasa ”arab” daripada ”indonesia”, artinya setiap hari yang saya pelajari adalah yang juga orang arab sana pelajari, buku berbahasa arab, bercakap, dan mendengar bahasa arab. Mau tidak mau, hal ini membuat saya lebih merasa sebagai bagian dari orang arab dari pada orang indonesia. Solidaritas dan keterikatan dengan budaya maupun permasalahan orang-orang arab atau timur tengah pada umumnya lebih menjadi concern saya daripada permasalahan bangsa sendiri. Tidak mengherankan kalau semisal ada bencana atau persolan pelik bangsa arab, saya akan lebih terpanggil untuk melakukan ”sesuatu”.

Fenomena semacam ini bukannya tanpa sebab. Jika saya amati, kecenderungan lebih ”arab” tersebut dikarenakan tidak adanya perasaan keterikatan terhadap Indonesia secara langsung atau riil. Indonesia seperti awang-awang dimana para santri memang sadar sedang tinggal di sebuah negara yang bernama indonesia, namun penjiwaan tentang hak dan kewajiban berbangsa dan bernegara hampir tidak ada. Mengapa saya mengatakan demikian, karena pada institusi ponpes dan terutama akar rumput atau santri, mereka merasa self-help dalam menuntut ilmu. Pemerintah indonesia bagaikan sesuatu yang abstrak bagi mereka karena selama ini, ponpes dan pemerintah seperti jalan sendiri-sendiri. Bahkan hubungan yang erat sering terjalin antara pondok pesantren dengan negara lain terutama timur tengah karena murid dari pondok pesantren biasanya meneruskan pendidikan di negara-negara timur tengah.

Tidak hanya perasaan ”lebih arab” yang memprihatinkan, tetapi juga content (isi) pelajaran di Ponpes yang perlu dikritisi. Menurut saya, para santri memang diajarkan tentang agungnya agama mereka, namun minim kesadaran tentang kebinekaan. Tentang keberadaan mereka di suatu negara yang multi etnis, agama, dan budaya yang bernama Indonesia. Bagaimana mereka akan menghargai keberagaman tersebut kalau yang mereka tahu adalah agama mereka yang paling benar? Tidak hanya content saja yang perlu dikritisi, tetapi juga sistem pengajaran yang minim dialog dan interaksi secara langsung. Agaknya hal ini tidak hanya terjadi di lingkup Ponpes, tetapi juga pada sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya. Dikhawatirkan dengan adanya pengajaran yang dogmatis semacam ini, akan terjadi fanatisme semu yang mengakibatkan ketidakpekaan untuk berpikir kritis sehingga dengan mudah dicekoki ajaran-ajaran yang mendatangkan kemudhorotan bagi banyak pihak. Dalam hal ini, tentu saja bukan hanya institusi pondok pesantren yang patut dipersalahkan, tetapi juga pemerintah sebagai komando sistem pendidikan di Indonesia.

Hubungan antara pemerintah, pondok pesantren sebagai institusi, dan santri merupakan tiga kesatuan yang sebenarnya dependent (saling bergantung). Namun pada kenyatannya, pemerintah dan pondok pesantren seperti jalan sendiri-sendiri sedangkan para santri hanya manut saja, sehingga menurut penulis akan merugikan ketiganya secara langsung mapun tidak langsung. Misalkan saja, mayoritas pondok pesantren di Indonesia memang mengajarkan, kasarnya, berbagai hal untuk memperoleh surga di akhirat kelak namun mengabaikan pengajaran mengenai keahlian untuk bekerja di dunia. Akibatnya, setelah santri lulus dari ponpes, mereka tidak memiliki keahlian apapun sementara asap di dapur harus tetap mengepul. Apabila bekerja pun, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak profesional. Saya berikan contoh, banyak orang di desa bahkan kecamatan di kota saya (Tuban) yang lulusan ponpes, menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional, bahkan sebagian dari mereka menganggur. Padahal biaya dan waktu yang mereka habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Sedangkan pemerintah sendiri seperti tidak perduli dengan keadaan tersebut padahal akan berakibat pada kemajuan ekonomi dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Akibat dari berbagai permasalahan tersebut adalah semakin terkikisnya perasaan nasionalisme para santri pondok pesantren padahal mereka juga adalah generasi penerus bangsa yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak heran apabila mereka lebih cenderung membela saudara-saudara mereka yang ada di timteng daripada orang-orang miskin di Indonesia. Tidak heran pula kalau mereka lebih bersemangat mengumpulkan sumbangan untuk orang-orang di timteng daripada anak-anak kecil busung lapar di beberapa wilayah di Indonesia. Dan yang paling parah, mereka (tidak semuanya) tidak segan-segan membunuh bangsa sendiri sebagai reaksi atas peristiwa yang terjadi di Timteng antara Barat (AS) dengan negara-negara Timteng. Inilah hal urgent yang seharusnya menjadi perenungan kita bersama.

Mempertahankan Nasionalisme di Pondok Pesantren

Nasionalisme sering diartikan bukan hanya sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk memberi kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana (terutama) para santri berkontribusi apabila perasaan dilibatkan itu tidak ada? bagaimana melakukan bakti negara apabila hak dan kewajiban tidak mereka sadari? Seharusnya kita sadar dari dulu bahwa ada suatu sistem yang salah yang selalu dipertahankan dari waktu ke waktu sehingga semakin mengakar. Sistem tersebut tidak lain adalah “ketidakpedulian massal” tentang hak dan kewajiban antara pemerintah, institusi pondok pesantren, dan santri. Sampai saat ini, mungkin masih sedikit dari kita yang menganggap ini suatu masalah sampai banyaknya pemboman yang dilakukan oleh oknum-oknum yang disangkut-pautkan dengan institusi pondok pesantren. Sangat tidak adil ketika kita hanya menyalahkan institusi ponpes tanpa mencari tahu sebab yang sifatnya lebih riil. Dan menurut penulis, sebab struktural yang penulis ungkapkan diatas dinilai lebih realistis.

Seperti mengurai benang merah, tidak mudah untuk menawarkan solusi bagi tegaknya nasionalisme terhadap negara Indonesia di ponpes. Namun berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, Negara, dalam hal ini dinas pendidikan, harus mulai intense untuk ikut campur dalam pengelolaan pondok pesantren tidak ubahnya dengan sekolah negeri pada umumnya, namun dalam kadar yang kompromistis bukan mendominasi. Maksudnya, beri mereka dana untuk berkembang tidak hanya secara fisik namun juga kwalitas nonfisik. Saya perhatikan selama ini, pemerintah memang menyediakan dana untuk kemajuan pembangunan ponpes, namun kebanyakan hanya untuk pembangunan secara fisik dan itupun dananya sangat terbatas (jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri).

Kedua, pemerintah perlu memperhatikan kurikulum yang diajarkan di ponpes. Isu yang selama ini berkembang adalah bahwa pemerintah harus menstandarkan kurikulum di semua ponpes di Indonesia. Menurut saya, hal ini sangat sulit bahkan mustahil dilakukan. Kalaupun bisa, dalam pelaksanaannya akan terjadi banyak penyelewengan atau bahkan sama sekali tidak dilakukan oleh ponpes itu sendiri. Selain itu, pemerintah akan sangat sulit menentukan bagaimana mekanisme standarisasi tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya jenis pondok pesantren itu sendiri. Menurut pengalaman penulis, hampir setiap pondok pesantren memiliki standar kurukulum sendiri-sendiri. Misalnya saja, ada ponpes yang khusus mengajarkan Al-quran, ada pula ponpes salaf yang ketat dimana santri hanya belajar agama, serta ponpes yang fungsinya sebagai asrama dimana siswanya bersekolah di lingkungan yang sama dll. Ada bermacam-macam ponpes dengan takaran idealnya sendiri dalam memberikan pengetahuan agama bagi para santrinya.

Jadi apa yang dapat dilakukan? menurut saya, pemerintah tetap perlu memasukkan beberapa kurikulum yang ditujukan untuk membina semangat nasionalisme serta kecintaan terhadap tanah air terutama bagi ponpes salaf. Misalnya, mata pelajaran ataupun kurikulum yang berbasis pada pendidikan perdamaian baik itu mekanisme maupun content pengajarannya. Menurut saya, content pendidikan perdamaian tersebut harus mengandung unsur dialog, penghargaan terhadap kebinekaan dan hal-hal lain yang dapat menjamin tidak hanya damai dengan Tuhan tetapi juga damai dengan sesama manusia dan bakti kepada negara. Hal ini sebenarnya telah pula diajarkan di pondok pesantren karena inti dari ajaran islam sendiri adalah hubungan dengan Allah, Manusia, dan alam namun penghayatan secara riil di masyarakat minim didapatkan. Secara teori mungkin mereka mengerti namun ketika telah berhadapan dengan kehidupan nyata, sulit untuk direalisasikan. Pendidikan perdamaian bukanlah mata pelajaran abstrak, namun juga dapat dijadikan mekanisme bagi proses pengajaran itu sendiri. realisasinya dapat berupa dialog dan interaksi langsung serta cara-cara yang nir-kekerasan. Selain itu, berpikir kritis dan berdiskusi akan menghindarkan pandangan sempit mengenai perbedaan agama, sehingga pada gilirannya, mereka sadar telah hidup di negara yang penuh perbedaan.

Ketiga, para santri di pondok pesantren jangan hanya diajari mengaji, tetapi mereka juga harus diberdayakan. Artinya, mereka diberi keahlian semisal menjahit, komputer, mesin dll. sehingga selesai menimba ilmu di ponpes, mereka dapat meneruskan hidup dengan bekerja secara profesional. Dan satu hal lagi yang penting, negara harus memfasilitasi mereka untuk meneruskan hidup seusai mengenyam pendidikan di ponpes. Kalau perlu, mereka dapat diterima di perusahaan-perusahaan milik negara setingkat dengan lulusan perguruan tinggi atau sekolah-sekolah negeri.

Kesimpulan

Hal yang ingin saya tekankan dari tulisan saya ini adalah bahwa pemerintah, ponpes, dan santri adalah entitas-entitas dari bangsa indonesia yang hendaknya menyadari dan berperan sesuai dengan kapasitas dan porsi masing-masing dalam membangun bangsa. Perlu saya garis bawahi bahwa para santri adalah anak bangsa yang harus pula dihidupi oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 45. Mereka punya hak untuk itu. Mereka punya kewajiban tetapi bagaimana mereka melakukan kewajiban itu apabila mereka tidak merasa punya kewajiban untuk bakti negara karena selama ini hak mereka sebagai warga negara terabaikan atau tidak sadar pernah mereka enyam. Yang harusnya terjadi adalah mereka dilibatkan dalam pembangunan negara sehingga mereka memiliki perasaan senasib sepenanggungan bahwa mereka lahir, tinggal dan akan mati di Indonesia. Mereka bukan warga negara arab yang kebetulan tinggal di Indonesia dan oleh karenanya lebih berminat untuk berkorban bagi kepentingan orang-orang Arab daripada membangun Indonesia tercinta. Inilah yang patut kita renungkan bersama!


Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai nasional Menjadi Indonesia yang diadakan Tempo Institute dan berhasil mendapat juara ke-2.

Saya Suka Menulis Esai



Judul di atas tampaknya cukup provokatif. Yap! saya suka menulis esai, memang itu yang saya rasakan. Dengan menulis esai, saya dapat memuntahkan pemikiran dengan santai tapi juga kritis, ringan tapi juga menyentuh.

Karena rasa suka saya tersebut, saya ingin membagi beberapa esai saya untuk dinikmati sembari minum coklat panas. saya harap, ketika anda membaca esai saya, anda dapat menemukan siapa saya dan yang terpenting, merasakan pesan saya. Tidak bermaksud takabur, tapi esai yang akan saya publish memang adalah esai-esai yang saya anggap cukup berkwalitas. saya ingin ini bermanfaat terutama bagi penulis yang ingin belajar menulis esai. Ups, saya tidak bilang saya ahli di bidang ini, yakinlah saya masih belajar.

Akhirnya, saya ingin bilang, menulis esai itu seperti bicara pada diri sendiri. Kamu harus jujur, kritis, sedikit polos, humoris, tapi cerdas.


NB: dalam post2 seputar esay, saya gak cuma ngepost esay saya, tapi mungkin juga semua hal seputar kehidupan per-esai-an saya (halah ngomong apa saya ini)