Saturday, July 16, 2011

ARGGGGGG

Saya sedang mengalami kekecewaan akut. Sepertinya saya memang hendak meninggalkan kerjaan saya saja. Kali ini alasannya sangat mendasar. Saya tidak bisa terus bekerja di tempat yang selalu memasang muka pemiliknya di halaman depan. Jika anda menilai ini hal yang sepele, menurut saya sebaliknya.

Saya bukan orang yang mau bekerja di tempat seperti itu. Saya ingin mencari yang lain. Tempat yang terus mendukung saya untuk menulis dan yang penting tidak memajang pemiliknya di halaman depan. saya benar-benar tidak bisa di tempat yang sangat dikuasai beberapa orang saja. Saya ingin kebebasan yang mutlak namun bisa menggiring saya pada kemajuan.

Arrrrgggggg!?

Saturday, July 2, 2011

Sadis

Mungkin saya adalah salah satu orang yang paling pesimis terhadap hubungan, apapun itu. Dari mulai hubungan pertemanan, pacaran, bahkan keluarga sekalipun. Tertawakanlah atau cacilah kalau perlu, memang begitulah saya. Tapi saya punya alasan atas sikap saya itu yang mungkin tidak pula bisa dimengerti.

Suatu hari, teman saya mengajak makan malam. Kebetulan perut saya memang lapar. Saya bilang "iya". Sebagai teman bergosip, saya sudah biasa makan dengannya. Lalu kami berkeliling mencari warung yang sesuai dengan isi kantong dan lidah kami. Muter-muter-muter. Tiba-tiba sudah dekat saja dengan kos-kosan teman saya itu. Dia pun bilang, "aku pulang ke kos aja ya. Gak jadi makan," katanya.

Saya mengiyakan. Karena kalau saya ngrengek, mungkin saja teman saya ini malah tidak ikhlas makan dengan saya. Efek samping positifnya, saya tidak sakit hati dengan teman saya ini. Saya biarkan saja dia pergi. Tapi jangan salah, saya terus ingat ketidakkonsistenannya itu. Jadi ketika dia janji, saya tidak akan berharap banyak dia menepatinya. Biarlah sesuka dia. Yang penting saya sudah menyiapkan diri saya kalau-kalau dia ingkar janji baik secara batin maupun lainnya. Memang terlihat pasrah, tapi saya orang yang percaya ini: semua orang berbohong, semua orang ingkar janji. Kita tidak akan pernah tahu kapan akan dicurangi atau dikecewakan. Hehehe

Suatu hari, A bilang kalau B suka memakai celana pendek ke kantor. "Hey, temanmu itu lo kalau ke kantor pakai celana pendek," kata A kep-ada saya. Dia mengatakannya sambil berbisik. Meski raut muka saya datar dan enggan berkomentar, tapi dalam hati tidak diam. Saya pun "niteni" kalau teman saya ini bisa saja membicarakan saya di belakang. Sama seperti dia membicarakan B. Jadi, pilihan saya adalah tidak akan sepenuhnya percaya dengan A, apapun yangdikatakannya. Mungkin memang benar perkataannya, tapi hal dibalik itu,harus tetap diwaspadai.

Saya juga menjumpai teman yang terlalu berusaha diterima di kelompoknya. Dia tertawa, tersenyum, menanggapi, semua yang fenomena di kelompok itu. Dia memperlakukan semua orang dalam kelompok itu dengan sangat spesial. Sampai terkadang saya merasa dia terlalu berlebihan berusaha dan tidak menjadi dia apa adanya.

Bagi saya, hubungan itu tidak bisa dipaksakan. Kedekatan itu berjalan seiring dengan kematangannya. Sesuatu yang dipaksakan matang itu pasti punya efek samping. Dan yakinlah, pasti itu tidak sehat. Biarlah yang alami meski lama. Toh kalau memang jodoh untuk dekat, pasti masa itu akan datang dengan sendirinya.

Karena mindset saya itu pula, banyak orangyang tidak mengerti terhadap langkah yang saya pilih. Ketika saya memang membatasi diri untuk tidak terlalu akrab dengan gerombolan saya, teman saya melihat itu sebagai kejanggalan. Ya, memang berbeda dengan yang lain, saya mengakui itu. Tapi bukan berarti itu salah, karena toh saya tidak pernah merugikan siapapun akan tindakan saya itu.

Lalu, saya kadang terlihat diam bahkan cuek terhadap keberadaan orang lain. Tahukah mereka kalau saya pun mengamati mereka. Saya "membaca" mereka. kalau kamu tidak tahu, tiap raut muka dan gerak-gerik si orang sudah bisa dibaca. Tanpa berkomunikasi pun, saya sudah berkenalan dengan mereka. Apa proses yang terjadi selama saya tak kenal dia itu, sudah saya jadikan wacana sebelum benar-benar kenal. Seperti, apakah dia memang benar-benar ingin kenal dengan saya? sebaiknya seperti apa saya bersikap kalau berkenalan dengannya? apakah saya perlu intense dengannya? dll

Meski saya pesimis, bukan berarti saya tidak ingin menjalin hubungan apapun. Hoho jangan salah paham dulu. Justru saya ingin membuat hubungan yang langgeng dengan cara itu. Yaitu dengan menetralisir ketergantungan saya akan hubungan. Gampangnya, saya selalu menyiapkan diri untuk kecewa dengan orang lain. Tapi bukan berarti orang itu bisa mencurangi saya terus lalu saya biarkan. Tidak. Saya pun tidak se-dewa itu. Saya lebih suka meninggalkan yang tidak bisa dipercaya itu tanpa sedikit pun niat untuk membutuhkannya. Dia yang akan datang kepada saya. Dan rida baginya akan terus berputar. Kecuarangannya itu akan merugikannya suatu hari nanti.


Eh, masih belum puas tapi udah ada panggilan (wanita panggilan kiee). Peace!

Sunday, June 26, 2011

Mboh

Walah
Walah
Walah
Opo aku nikah aja ya?
hahahaha

Benar sekali saudara-saudara! saya sedang mengalami kebosanan yang sangat dengan hidup saya saat ini. Biasalah, ini mungkin kekurangan saya soalnya tidak bisa menetapkan hati pada satu hal saja. Maunya lari ketika sudah bosan. Ganti lagi yang baru, begitu terus. Semoga itu tidak terjadi sama pernikahan saya kelak. Wah, ora lucu nek koyo ngonoku.Amit-amit jabang bayi.

Setelah kemarin adegan nangis-nangis dan putus asa karena keluar dari kerjaan. Sekarang saya balik lagi ke tempat yang sama. Sudah jalan dua minggu. Yah, saya senang, bisa kerja lagi, sibuk lagi. Tapi akhir-akhir ini saya jadi bosan. Selain karena masalah intern wartawan yang adaaaa aja, swasana kerja yang gak semenyenangkan dulu, sampai ingin swasana baru yang lebih asyik.

Sebenarnya, saya senang sekali ikut memperjuangkan J*gja R*y* agar menjadi koran yang bagus. Tidak tahu arti bagus bagi penggede koran dibawah J*w* pos itu. Tapi, arti bagus bagi saya adalah memiliki manfaat besar untuk masyarakat, beritanya tidak ecek-ecekan (harus berkelas), dan dibuat oleh tim yang solid. Saya ingin sekali bekerja dengan orang-orang yang profesional dan becus. Ingin sekali membuat koran yang tidak eksploitatif dan hanya menyajikan bad news tanpa pemaknaan. Atau sekedar koran gosip yang tidak berusaha memperbaiki keadaan. Itu idealisme saya.

Intinya, saya ingin ngeluh. Saya tidak nyaman dengan suasana kerja saya sekarang. Dulu, saya bertahan dengan tekanan kerja yang sangat ekstrem karena saya suka suasana kerja. Tapi sekarang saya kehilangan itu. Terlalu banyak omongan di belakang. Terlalu banyak cek-cok. Saya tidak suka dengan hal-hal seperti itu.

Dan juga, entah kenapa koran saya yang di pusat sana, suka sekali "memajang" muka pemiliknya. Hah, kalau ada berita tentangnya, pasti masuk halaman satu. Menurut saya, itu menyebalkan.

Entahlah, kalau dulu saya semangat banget, Tidak terlalu kalau sekarang. Jelasnya, saya sedang kehilangan semangat itu.

Entah apa yang saya cari sekarang...opo nikah wae yo? hahaha. Tapi kok yo ora ono calon. Wes jan, ora mutu tenan tulisan iki.



Hey,
saya sedang aneh nih
aneh itu kata dasarnya ane
ane itu saya
jadi saya ya ane
berarti saya aneh
Iyo to?


Perhatian: ini tulisan paling geje yang pernah saya buat. Hati-hati, kalau baca bisa merasa aneh. benar sekali.

Friday, May 27, 2011

Hampir Subuh

Hati saya sakit luar biasa. Saya bingung dengan hidup saya saat ini. Saya tidak tahu, tapi rasanya kosong tanpa masa depan. Rasanya sakit sekali dibanding ketika diprotes narasumber karena tulisan saya salah. Hehehe

Hmm saya sudah meninggalkan pekerjaan saya sebagai wartawan. Mungkin memang tidak permanen, karena mereka masih mengharapkan saya kembali. Tapi saya pun tidak bisa menjanjikannya. Saya belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Menjadi wartawan adalah puncak rasa penasaran saya akan tantangan. Ya, jadi wartawan adalah hal tersulit selama hidup saya. Tapi juga paling menantang dan sarat akan pelajaran. Bukannya saya memuju-muji pekerjaan saya. Saya tahu banyak yang pesimis akan pekerjaan ini, tapi justru saya dapat energi dari saya. Saya merasakan bagaimana rasanya tidak disukai di satu sisi, tapi diagungkan di sisi lain. Dan itu mungkin pengalaman yang tidak akan saya dapatkan di pekerjaan lain.

Hmm, kalau saya kenang, saya merasa cinta sekali akan pekerjaan saya. Dua hari ini tidak bekerja, ada sesuatu yang kurang. Ternyata saya sangat sayang. Ya, sayang...

Sementara, rumah sudah menunggu saya. Ibu saya belakangan sering sakit dan ayah saya sepertinya kualahan akan hal itu. Saya mengerti, tidak mudah menghadapi kehidupan pasca meninggalnya mbak Eli. Kalau mereka pikir saya tidak sedih, mereka salah. Terkadang saya menangis sendiri karena kepedihan yang tidak bisa saya lupakan. Dan itu sakit sekali kawan.

Bayangkan, saya menyaksikan setiap detik penderitaannya menjelang kematian. Saya merawatnya dari kebutuhan yang remeh temeh sampai yang asasi sekalipun. Saya menyaksikan tiap detik penderitaannya baik fisik maupun mental. dan setiap saya pulang atau beribadah, saya teringat dia. Itu sakit sekali...

Di subuh ini, hati saya semakin sakit. Saya nganggur sekarang. Cita-cita saya seperti kandas karena saya harus pulang. Pulang berarti isolasi. Dan saya tidak bisa mengembangkan diri secara maksimal. Entahlah, itu mungkin bayangan saya yang paling liar. Saya yakin semua tidak seburuk itu. tapi saya tidak memiliki bayangan sedikitpun apa yang akan saya lakukan di rumah. dan mungkin saya akan mengering di sana. Sirna dimakan keputusasaan.

Entahlah, saya ingin menghadapi ini dengan tegar. Saya ingin menyusun langkah-langkah yang mungkin bisa saya lakukan. Tapi keegoisan saya begitu kuat. Saya masih ingin mewujudkan mimpi saya keliling indonesia dan menuliskannya. Semua pengalaman yang saya lalui. Saya ingin sekali...Dan ketika saya sedang merintisnya, tiba-tiba saya harus pulang. Mimpi saya terombang-ambing, saya linglung, saya kosong...

Entahlah, hidup tanpa harapan itu seperti mati ditabrak becak. Konyol, sungguh konyol. Ah saya merusak tulisan ini dengan membuat erandaian yang juga sangat konyol. Anyway, saya tetap ingin kuat menghadapi semua ini. Saya harus yakin saya bisa. Saya harap hati saya tetap lapang. Bismillah...

Tuesday, December 21, 2010

Menutup 2010, Menyambut Tahun Baru

Aku tahu kenapa para pencipta lagu dapat membuat syair yang indah itu. Aku tahu kenapa para pujangga membuat puisi yang indah itu. Seakan mereka menyerahkan hidupnya pada sang kekasih dan tak ada kesempatan untuknya hidup selain dengan sang kekasih, aku tahu rahasianya. Karena mereka jatuh cinta...yah mereka jatuh cinta. Kadang ketika jatuh cinta, hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya menjadi nyata. Hal yang paling bodoh di dunia pun dilakukannya, yah itulah karena sedang jatuh cinta...


Sepuluh hari lagi tahun baru, besok hari ibu. Seperti biasa, saya bukanlah orang yang pandai memaknai hari. Entah bagi orang lain, menurut saya setiap hari itu punya makna. Saya belajar tiap hari, tentang hidup, kesusahan, dan perayaan. Sudahlah, siapa yang perduli.

Ini adalah perenungan. ini adalah apa yang terjadi dalam hidup saya pada tahun lalu dan harapan saya di tahun depan. Memang tidak penting, tapi saya suka membagi pelajaran dibaliknya.

Bagi saya, tahun lalu dimulai ketika saya jatuh hati kepada seorang lelaki. Tentu seorang lelaki dong nung! Ya, memang pada bulan Nopember, namun bagi saya itulah awal tahun, sekaligus dimulainya hidup yang konyol namun menyedihkan. Rasanya, baru kali itu saya benar-benar menyukai seorang lelaki. Saya adalah tipikal yang mudah sekali "melirik" orang, tapi akan segera pergi kalau dua hal terjadi: pertama ketika orang itu saya anggap "bodoh" (menurut kriteria saya), dan kedua ketika saya tahu kalau laki-laki itu sudah ada yang punya.

Dengan laki-laki ini, saya merasakan sebuah ketidakadilan yang sangat. Seandainya dari awal dia mengatakan kalau sudah punya pacar, PASTI SAYA TIDAK AKAN PERNAH TERTARIK PADANYA. Ketika suatu hari saya kirim email tentang perasaan saya, seharusnya dia membalas dengan bilang kalau dia bukan untuk saya karena sudah ada wanita lain di hidupnya. Dan bukan membalas dengan sebuah lagu berjudul good day sunshine. Intinya, saya cukup pintar membaca perasaan lelaki kepada saya, harusnya dia tak membodohi saya dengan bilang "saya tidak pernah menyuruhmu menyukaiku". Saya memimpikan dia cuma bilang "maaf" saja, tapi sampai sekarang kata itu tak pernah ada.

Ya, mungkin dia memang merasa tidak bersalah. Itu keputusannya, saya pikir dia sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang apa yang dilakukannya, termasuk untuk jujur kepada dirinya sendiri. Sekarang semua sudah "terlihat" baik-baik saja. Dia dengan hidupnya dan begitupun saya. Tapi kadang saya masih merasa ada yang kurang. Masalah ini diputuskan tanpa penyelesaian. Kami tidak pernah membicarakan masalahnya, tiba-tiba ada kata damai...saya takut, jangan-jangan karena kami terlalu takut untuk jujur satu sama lain? itu bukan penyakit orang yang di permukaan terlihat baik-baik saja, tapi di dalam tidak damai?

Hehe, setahun setelahnya, saya banyak memetik pelajaran dari kejadian di atas. Saya semakin mengerti bagaimana perasaan orang yang jatuh hati kepada orang lain. Ternyata, mencintai itu sakit kawan. Kau harus bersiap untuk kecewa di setiap detiknya. Kecewa ketika kau dicuekin. Kecewa ketika rindu lalu menjadi cemburu. Kecewa ketika dia mengatakan kebenaran. Tapi itu pendapat saya lo,,,saya pun akhirnya mengambil keputusan kalau saya tidak boleh meletakkan kepercayaan saya sepenuhnya kepada seseorang. Percaya berarti juga rasa cinta. Saya harus menyisakannya untuk rasa benci dan ketidakpercayaan, karena kita tak pernah tahu kapan dikhianati. sayangnya, sekarang hati saya sedang dikuasai oleh keduanya.

Oleh karena rasa sakit itu, saya merasa perlu untuk lebih menghargai perasaan orang lain. Lebih baik mengatakan dengan baik-baik kalau kita tidak suka/tidak ada kemungkinan bersama dengannya, daripada memberi harapan dan menggantungnya. Karena saya yakin, Tuhan itu Maha Adil. Kita tidak pernah tahu kapan nasib akan berbalik mempermainkan kita.

Saya pun ingin bilang dengan lantang bahwa saya bangga kepada diri saya karena saya tidak pernah mengingkari prinsip ini: tidak akan pernah merebut pasangan orang lain, meskipun seorang teman bilang, selama janur kuning belum melengkung, persaingan masih dihalalkan. Bagi saya tidak! ini bukan tentang seseorang belum legal menjadi milik orang lain, tapi lebih kepada perasaan sesama jenis saya. Saya berjanji tidak akan menyakiti hati wanita lain.

Apapun itu, saya tetap harus berterimakasih dengan apa yang telah saya alami itu. Walaupun pedih sekali, tapi banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Saya menemukan hidup yang lebih berarti, mengetahui begitu banyak orang yang perduli kepada saya, dan hati yang tangguh luar biasa. Sekarang saya berdiri di sini dengan hati yang lapang sekali daripada kemarin-kemarin. Namun saya juga khawatir, bisakah saya percaya kepada laki-laki lagi? tepatnya, sampai kapan saya akan memendam ketidakpercayaan kepada mereka? semoga tidak lama...



mungkin bersambung...

Tuesday, November 30, 2010

Sebuah Tor Wawancara

Suatu hari saya mendapat sebuah tor wawancara dari sebuah organisasi. Intinya, pertanyaan yang mereka ajukan masih seputar dunia tulis-menulis yang saya sukai dan esai saya yang berjudul "Mempertahankan Menjadi Indonesia". lengkapnya bisa dibaca disini http://secangkircoklatpanas.blogspot.com/2010/11/mempertahankan-menjadi-indonesia-di_04.html



Inilah, tanya-jawab yang membuat saya (cukup) kesulitan mencari jawabannya, namun memancing untuk kritis dan jujur.

1.Sejak kapan Ainur Rohmah menyukai dunia tulis menulis, esai, kolom? Selama menekuni dunia penulisan, pengalaman menarik apa yang Ainur temukan?

Ketika remaja, saya suka menulis diary. Ketika berada di bangku kuliah, saya suka membaca tulisan-tulisan salah satu dosen saya yang kebanyakan berupa esai. Dari sana, saya mulai tertarik lebih jauh untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, terutama esai.

Pengalaman menarik yang saya temukan lebih kepada proses ketika menulis itu sendiri. Saya mencari ide, bertemu dan bersosialisasi dengan objek yang ingin saya tulis, dan hal itu banyyak memberikan pengetahuan baru bagi saya. Misalnya ketika menulis tentang sebuah komunitas belajar di bantaran kali code, saya berusaha untuk mendalami mereka, merasakan bahwa saya adalah juga bagian dari mereka.

2.Menurut Ainur, apakah ketiadaan kurikulum life skill di pesantren memiliki kaitan tidak langsung dengan aksi - aksi sektarian seperti terorisme? Jika Ya, bagaimana hubungan keterkaitan itu?

Absolutely, menurut saya iya. Lebih tepatnya ini adalah sebab pendukung. Saya kira, banyak dari kita telah tahu bahwa sebab-sebab ekonomi –ketimpangan ekonomi lebih jelasnya, adalah hal yang membuat seseorang memberontak. Saya pikir itu pula yang terjadi pada orang-orang pesantren yang akhirnya menjadi teroris. Kehidupan mereka gersang dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif sehingga manifestasi dari frustasi tersebut berupa aksi radikal. Ketika mereka tahu setelah lulus mereka juga akan bekerja, maka mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih jelas. Mereka dapat menyusun cita-cita dan melakukan kegiatan layaknya orang yang kuliah atau sekolah pada umumnya.

3.Dalam esai, Anda menawarkan tiga solusi untuk mempertahankan pesantren agar tetap berada dalam bingkai k e- Indonesia-an: pertama, menjalankan kurikulum pendidikan perdamaian, baik sebagai materi pelajaran, maupun pendekatan PBM; kedua, mengembangkan metode berpikir kritis dan dialogis tentang kebinekaan di Indonesia; ketiga memasukkan kurikulum life skill sebagai bekal kehidupan begitu lulus dari pesantren. Bagaimana caranya agar pesantren salaf bisa menerima intervensi kurikulum tentang Islam Damai, atau Islam yang Rahmatan Lil Alamin, atau Islam Indonesia, sementara mereka membiayai pendidikan pesantren sendiri? Atau berdalih bahwa domain Kementerian Agama terbatas pada pendidikan formal yang dikombinasi dengan boarding school, MIN, MTS, MAN?

Ini sebenarnya bidang sensitive. Tapi percayalah pada saya bahwa uang dapat bicara banyak. Ikat mereka dengan memperlakukan pesantren sebagai mitra. Maksudanya bantu mereka untuk berkembang baik itu berupa uang, pelatihan, dan jaringan. Dekati mereka lewat pemimpin utamanya, yaitu kyai yang disegani di pesantren itu. Kalau pemimpin tertinggi sudah berteman pada kita, maka kebijakan pesantren tersebut kemungkinan besar dapat dimodifikasi dengan misi kita. Saya pikir, banyak pula pemimpin pesantren yang telah berpikir terbuka. Mereka mau mendengarkan asalkan kita menunjukkan kesungguhan untuk berniat baik. Ketika berniat intervensi, kita harus memperlakukan mereka sebagai mitra, bukan musuh atau pihak yang harus takluk, karena mereka adalah pihak independen yang perlu proses lama untuk “ditembus”.

4.Bagaimana pendapat Ainur Rohmah dengan kaidah usul fikih yang berbunyi "Wilayatul Khos Afdlalu min wilayatil aammah" dan hadits yang berbunyi khubbul waton minal iman? Apakah kaidah usul fikih dan hadits tersebut tidak mampu menumbuhkan kecintaan pesantren pada tanah air?

Sebelumnya saya tanya dulu, jangan-jangan mereka (orang islam ekstrem) malah tidak pernah menganggap Indonesia adalah negaranya sendiri? Lalu bagaimana mereka akan mengamalkan kaidah atau khadits tersebut kalau mungkiin saja mereka lebih merasa arab daripada Indonesia? Proses belajar di pesantren sifatnya sangat luas. Semua tergantung konten. Percuma saja slogan itu kalau para santri tidak pernah belajar apa itu Indonesia. Tidak perlu seperti pelajaran PPKN atau Pancasila yang katanya untuk mengetahui Indonesia, tapi cukup tentang realitas tentang negaranya ini. Apa yang perlu mereka perjuangkan dan apa kontribusi yang dapat mereka lakukan. Dulu ketika masa revolusi kemerdekaan, pesantren berperan banyak karena mereka mengalami apa yang terjadi saat itu, namun sekarang tidak. Mereka tiap hari belajar islam yang juga berarti arab. Lalu kenapa mereka harus merasa Indonesia?

5. Bagaimana kesan tentang Indonesia waktu masih SD dengan saat ini?

Saya tidak pernah mengerti apa Indonesia saat saya masih kecil. Saya tinggal di desa yang cukup terpencil dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang ketat. Saya rasa Indonesia adalah sebatas lingkungan rumah saya dan ibu kota kecamatan saya. Saya baru bertemu orang selain islam ketika saya SMA. Dan saya baru bertemu orang papua ketika saya kuliah. Duania saya begitu kecil sehingga saya tidak pernah mendapat gambaran nyata mengenai Indonesia kecuali lewat buku-buku pelajaran ketika SD sampai SMP. Saya kira itu pula yang dialami banyak anak muda yang berada di pesantren. Pemahaman mereka mengenai Indonesia sangat sempit ketika masuk ke pesantren sedangkan ketika mengenyam pendidikan disana, mereka setiap hari belajar untuk menjadi arab.
Kembali lagi pada kesan saya mengenai Indonesia. Saya merasa benar-benar terlibat dengan Indonesia ketika saya banyak menemukan realitas dan bergaul dengan isu-isu yang selalu dibicarakan di negeri ini. Saya mendapat pengalaman dari perkampungan kumuh di pusat kota Yogyakarta yaitu bantaran kali Code. Kemiskinan itu membuat saya terlibat secara emosi. Saya mendalami mereka dan menemukan bahwa ternyata saya bagian dari mereka. Dan mereka adalah juga Indonesia. Empati saya terbangun. Lalu pergaulan saya yang semakin luas dengan berbagai macam suku, agama dll. Itu membuat saya sadar tentang Indonesia yang beranekaragam. Tentang Indonesia yang serba kekurangan namun karena itu, harus diperjuangkan demi keadilan.

6. Apa harapan Ainur terhadap Indonesia di masa mendatang?

Saya ingin pemerataan ekonomi, pendidikan, hak dasar setiap warga negara terpenuhi. Tanpa kompromi. Memang sangat ideal, tapi itu bukannya tidak mungkin terwujud. Tugas mewujudkannya bukan hanya ada di tangan pemerintah, tetapi juga semua entitas bangsa ini. Saya ingin anak muda mulai perduli lingkungan terdekatnya. Mereka melakukan sesuatu, tidak hanya protes atau mengkritisi. Aksi aksi aksi!

7. Setiap orang mungkin tak jarang merasakan kebosanan, baik untuk belajar, maupun yang lainnya, punya ngga kiat mengusir kebosanan yang mengganggu proses kreatif?

Ketika mengalami kebosanan yang menghambat proses kreatif saya, saya biasa menghentikan aktivitas saya sebentar, pergi keluar rumah/kos, dan berjalan menikmati swasana kota. Banyak inspirasi yang datang dan memecahkan kebuntuan di otak. Saya tak ingin memaksakan diri mengerjakan apa yang tidak/belum saya kerjakan, perlu waktu sebentar untuk berhenti, dan melanjutkannya lagi ketika kita sudah siap.

Thursday, November 25, 2010

Berteman dengan Perbedaan

Percaya atau tidak, saya baru bertemu dan berinteraksi dengan orang non-muslim ketika telah berada di bangku SMA. Sebelum itu, saya hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Tuban, Jawa Timur, yang hidup di lingkungan yang sangat homogen. Setiap orang yang saya kenal adalah muslim. Dan keluarga saya adalah penganut agama yang ketat. Tidak pernah terbayang di benak saya tentang persahabatan dan interaksi lebih dekat dengan orang-orang yang tidak seagama dengan saya. Setahu saya, sedari kecil saya diajarkan untuk "berbeda" dengan mereka. Hehe, memang aneh tapi memang begitulah kenyataannya.

Saya pun lantas menganggap orang non-muslim sebagai zona tidak aman saya. Setahu saya, saya harus menjauhi mereka. Maka selama SMA, saya tidak pernah dekat dengan anak non-muslim meskipun saya tidak pernah mengganggu mereka. Namun saya selalu tertarik dengan mereka. Tertarik disini saya maksudkan dengan kecerdasan mereka dan keterbukaan mereka. Lantas, saya pun sering bertanya pada diri saya sendiri, apa salahnya berteman dengan mereka, toh mereka tak pernah memaksaku untuk masuk agama mereka? Sayangnya, niat itu tak pernah kesampaian karena saya keburu lulus SMA.

Sewaktu kuliah, saya sudah cukup terbiasa bergaul dengan orang non-muslim. Saya tak terlalu mementingkan apakah dia muslim atau tidak. Saya mulai terbuka dengan mereka. Tapi jangan salah, perlu keberanian bagi saya untuk membuka diri. Mungkin ini terlihat sepele, tapi untuk memutuskan "baiklah, aku akan bicara dengannya (non-muslim)dan tersenyum padanya" saja itu sudah sulit. Ini seperti tarzan dari hutan yang tidak pernah pergi ke kota namun suatu hari dia dibawa ke sana dan harus menggunakan telepon, makan pizza, dll. Intinya, itu semua asing dan sangat rentan terhadap rasa curiga.

Namun pengalaman memang selalu megajarkan banyak hal. Suatu hari sekitar setahun yang lalu saya harus mempresentasikan esai saya di sebuah universitas kristen di yogyakarta, tak lain adalah Universitas Sanata Dharma. Hah, saya tidak pernah membayangkan itu akan saya lakukan. Kesan pertama datang ke sana, saya terhantui oleh perasaan saya sendiri bahwa ini sama saja dengan masuk ke sarang penyamun. Saya tertekan oleh perasaan saya sendiri. Namun ketika tiba di ruang seminar, saya disambut dengan ramah. Sebelum presentasi, seorang romo memberi kata sambutan yang sangat menenangkan saya bahwa beliau menghormati perbedaan, semua sama di ruangan itu, tak ada yang lebih istimewa. Saya senang. Meskipun saya lah satu-satunya muslim di situ, tapi saya seperti punya teman yang mendukung saya, meskipun kami berbeda.

Setelah presentasi, ketika saya di suruh bicara di depan, saya berkata bahwa saya sangat bahagia diberi kesempatan berada di sana. semula saya merasa seperti orang asing, namun akhirnya saya merasa bahwa di situ saya dipertemukan dengan orang-orang baik. kami semua lega. Kami saling berjabat tangan dan berterima kasih.

Dan pengalaman lain pun datang setahun setelahnya. Beberapa hari ini saya membantu di posko Lingkar Muda yang mayoritas dari mereka beragama kristen. saya tidak pernah membayangkan nongkrong di sana sepanjang siang, lalu tanpa mengeluh mencucikan piring dan perkakas masak-memasak mereka. Kenapa saya ikut datang ke sana dan memutuskan untuk membantu? sebenarnya tidak hanya alasan posko mereka terorganisir dalam penanganan bencana merapi, tetapi juga naluri saya untuk lebih banyak bergaul dengan zona tidak aman saya. Saya ingin merasakan mereka. Saya ingin memberi kesempatan kepada diri saya untuk lebih banyak memahami, bukan selalu sibuk menjustifikasi.

Entahlah, saya pikir, saya sangat terlambat dalam hal-hal semacam ini. Ketika orang-orang tidak lagi mempermasalahkan hal-hal seputar agama, saya masih sibuk mencari celah untuk mengenal mereka. Namun kadang saya bangga pada diri saya sendiri bahwa paling tidak saya berusaha. Kenapa ini perlu? karena menurut saya, hidup ini kaya kalau kita berkehendak untuk membuka diri. dengan kaya, maka saya akan lebih bijak menentukan sikap dan mengambil pelajaran dari semuanya, itu arti hidup bagi saya.

Semoga proses ini tidak hanya berhenti di Lingkar muda, tapi di manapun dengan semangat yang sama.