Tuesday, March 23, 2010

Cerita tentang Korupsi

Waktu itu pagi di suatu pasar di sebuah kecamatan kecil di Tuban, Jatim. Aku memarkirkan sepeda motorku di depan pasar yang dikelola oleh pihak berwenang di pasar itu. Seragam tukang parkirnya berwarna hijau mirip punya hansip lengkap dengan topi yang mengingatkanku pada topi KKN-ku. Jadi aku percayakan sepeda motorku di tangan bapak-bapak yang kalihatan “amanah” itu. Aku pun diberi karcis kecil lengkap dengan cap yang menandakan itu tempat parkir resmi. Setelah selesai belanja, aku pun menuju motorku, aku telah menyiapkan uang Rp.1000 untuk membayar parkir, namun aku urungkan karena ternyata di kertas hanya tertulis angka Rp.300. Aku pun hampir menyerahkan uang Rp.500 ketika bapak petugas parkir mengatakan aku harus bayar Rp.1000 karena aku manis (ehem), dan 1500 bagi orang jelek. Lalu aku nyolot.

“Di kertas ditulis Rp.300, kok bayarnya jadi Rp.1000 pak?” (telah aku artikan, bahasa sebenarnya bahasa kromo) Kataku dengan senyum mengejek

“Mbak kan bawa karcis yang tulisannya Rp.300, lalu karcis yang nempel di motor mbak kan juga Rp.300, jadinya Rp.600 to. Yang Rp.200 untuk beli rokok, Rp.200 untuk beli wedang (minuman)”

“berarti korupsi dong?”

“Ya nggak no, kan udah ngomong, korupsi kan ndak ngomong”

Tukang parkir lain, yang juga teman tukang parkir pertama ikut nimbrung. Aku menanyakan hal yang sama dan dia bilang gini.”sudah, jangan bilang siapa-siapa. Diikhlaskan saja, semoga sehat, blab la bla.”

Karena jengah dengan kelakuan mereka, aku pun tancap gas dan berlalu meninggalkan mereka yang masih ngoceh. Sampai rumah, aku bertanya pada bapakku. “pak, biasanya bapak bayar parkir di pasar berapa?” beliau menjawab:”Rp.500, kadang malah gak bayar soalnya mereka sudah kenal aku”
“aku tadi disuruh bayar Rp.1000”
“Kalo tahu anakku, pasti nggak ditarik Rp.1000, soalnya mereka sudah kenal aku”
Batinku:”waaa ini nepotisme namanya”

Itu sepenggal cerita bodoh yang aku alami di sebuah kota kecil di pelosok Tuban. Yang ingin aku katakan adalah:Korupsi ternyata telah mengakar dimana-mana, tak terkecuali di kota kecil yang jauh dari sorotan KPK, yang dilakukan aparat berwenang meskipun itu dalam jumlah yang kecil. Angka yang harusnya cuma 300, menjadi 1000, ckckck hampir 3 kali lipatnya! Bayangkan berapa keuntungan pegawai parkir itu. Aku yakin, dari pihak pengelola pasar (berarti pemerintah di kecamatan itu), mereka telah digaji. Tidak heran, para koruptor bisa korupsi buanyak berkali-kali lipat dari uang yang seharusnya menjadi haknya.

Waktu menulis ini, aku sebenarnya ingin sekali mencari cara untuk “melaporkan” perbuatan mereka ke pihak yang berwenang mengenai permasalahan perparkiran tadi, tapi di hatiku juga timbul keraguan: “yakin nung kamu mau melaporkan ini ke pihak yang berwenang? Kamu tahu dimana dan siapa? Kamu gak kasian sama dua petugas parkir itu yang pasti orang kecil?”

Hahahaha rasanya ingin tertawa karena dua hal: pertama, aku tahu perbuatan mereka curang. Namun aku memaksa diriku untuk tidak mau tahu karena merasa tidak berdaya dan tidak punya akses untuk melaporkan kedua bapak-bapak tadi. Kedua, apakah permasalahan kecil (korupsi 600) harus aku besar-besarkan? Kasihan mereka…

Itulah, menurutku, dua hal yang membuat korupsi terus mengakar bahkan di tempat, waktu, dan tokoh yang paling kecil sekalipun. Yap dua hal itu adalah: kita tak punya “sesuatu” yang siap untuk jadi pendengar dan rujukan ketika ada korupsi di sekitar kita, dan lalu dengan gagah berani mau meninjaklanjuti. Polisi? Aku, jujur saja, pesimis dengan mereka. Sayangnya KPK hanyalah sebuah tangan dewi keadilan yang hanya ada di ibu kota yang panjangnya tak menjangkau pelosok Tuban. Kedua: kita selalu berlagak jadi pemaaf dan membuat hal itu “umum” terjadi. Kita bahkan tak menganggapnya sesuatu kecurangan atau bahkan kejahatan. Jadi sikap permisif itulah yang terus saja membuat perbuatan curang itu beranak-pinak bahkan di lingkungan yang paling kecil sekalipun.

Jujur, ketika nyolot seperti tadi kepada dua bapak yang agak tua yang juga dua tukang parkir koruptor, aku tak merasa berdosa sama sekali. Meskipun mereka dua bapak-bapak yang mungkin miskin dan memang telah tua…Aku tak akan bilang yang aku lakukan tadi benar, itu terserah pendapat anda-anda yang membaca note ini.
Orang Indonesia itu terlalu pemaaf dan “sok baik”, makanya korupsi gak pernah mati, hehe.

0 comments: