Thursday, April 1, 2010

Tur Pantai Yogyakarta-Purworejo

Sabtu yang lalu (tgl 28 Maret) aku bersama mantan mbak kosku melakukan tur pantai yang kami rencanakan mengunjungi 5 pantai sekaligus dalam sehari. Tiga pantai berada di Yogyakarta dan sisanya berada di Purworejo. Rencananya kami akan pergi ke pantai Parangtritis, Depok, glagah, Jatimalang, dan Keburuhan. Hahaha it will be long journey. Saking semangatnya, sabtu yang biasanya aku habiskan dengan ngebo (bermalas-malasan di atas tempat tidur), menjadi hari paling rajin selama aku berada di jogja. Hmm aku bangun jam 03.30 dan segera mandi. Gilaks, segitu semangatnya Bos!? Jam 04.30 kami pun berangkat dari kosku yang berada di daerah terban Yogyakarta untuk menuju destinasi pertama yaitu pantai Parangtritis. Karena masih pagi, cuma ada satu dua motor yang lalu lalang. Sepi. Begitu pula ketika motor yang butuh minum bensin ingin mampir ke SPBU, tak ada yang buka padahal tulisannya saja buka 24 jam. Dalam hati menggerutu, piye sih p*rt*m*n*, kok SPBU-nya banyak yang tutup? Untunglah ada penjual bensin eceran yang siap melayani, jadi motor pun akhirnya semakin kencang berlari. Saran maha pentingku, kalau mau berangkat pagi-pagi, isilah bensinmu malam sebelumnya.

Ketika melewati jembatan yang lumayan panjang, kamipun berhenti sebentar untuk menikmati pemandangan di sekitar jembatan tersebut. Hmm pemandangannya memang indah, apalagi kalau sudah terang. Di bawah jembatan itu mengalir sungai yang agak luas dan di sebelah kananya ada pegunungan yang membentang indah, bertumpuk-tumpuk seperti penampakan lukisan yang aku buat waktu kecil dulu. Aku yakin, sunrise di sini pasti akan menawan. Namun bayanganku terpecah berkeping-keping ketika seseorang yang gila sarap (maaf, PK maksudku) yang membuat jantungku serasa copot. Beneran! Untung aku tak melihat…hahaha



Tak berapa lama kami pun melanjutkan perjalanan –mungkin karena pengaruh shocking thing tadi kali ya. Sampai Parangtritis, pagi tak lagi gelap. Untuk masuk kesana, kami membayar Rp.6000 (ongkos masuk yang sebenarnya adalah Rp.7000) setelah kami tawar, hahaha. Sayangnya, matahari di Parangtritis tak memperlihatkan batang hidungnya karena tertutup tebing, dan baru muncul sekitar jam 07.00 ketika telah terik. Hah akhirnya pagi di Parangtritis cuma kami habiskan dengan memotret pemandangan tanpa sunrise. Saranku, kalau mau menikmati sunrise mending jangan di Parangtritis, kagak asyik cuy.





Ow ya, satu hal yang khas dari parangtritis adalah andong. Hmm bapak-bapak kusir akan ready mengantarmu menyusuri pantai Parangtritis dengan kudanya. Aku tak tahu berapa ongkosnya karena aku sendiri tak naik.



Setelah cukup terik, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pantai selanjutnya, ehem tanpa sarapan. Mungkin karena ulah perut yang mulai lapar, semangat kami untuk mampir di Pantai Depok surut dan memutuskan untuk langsung ke glagah sambil mencari makan. Kata teman seperjalananku, pantai depok tak jauh beda dengan Parangtritis, ya kayak pinang dibelah gergaji gitu dah, eh dibelah dua maksudnya. Satu hal penting kawan, pagi di jogja berarti Gudeg dan sepi, jadi makanan yang akan selalu kamu temui adalah gudeg. Syukur-syukur kalau kamu suka gudeg, maka makan pagi disana akan sangat nikmat, kalau tidak, maka kamu harus tahan dulu perutmu sampai agak siang ketika berjenis-jenis makanan telah dimasak. Begitu pun yang kami alami, sepanjang perjalanan menuju glagah, tak ada yang menjual makanan,kalaupun ada itu adalah penjual gudeg padahal kami tak terlalu berminat pada gudeg. Di Parangtrtis sendiri tak ada makanan yang dijual sepagi itu. Jadi menyesal kenapa aku tak membawa bekal sejenis roti atau makanan kecil.

Waktu itu hampir sampai glagah ketika kami memutuskan berbelok ke pantai Trisik yang tak terkenal sama sekali. Hmm mungkin karena tidak terkenal itulah, maka tak ada papan penunjuk yang representative. Kami pun sempat mengarungi jalan berbatu yang kami kira adalah jalan menuju pantai itu, tapi ternyata kami salah, ada papan penunjuk menuju pantai TRisik (namun kecil sekali dan warnanya senada dengan warna padi di sana) dan jalan yang telah beraspal untuk menuju kesana. Hoahahaha soooo wild! Itu kesan pertama ketika aku sampai di Trisik. Eh gimana gak wild wong ombaknya saja begitu besar dengan suara gemuruh yang menggelegar. Aku tidak bohong, pantai ini memang sangat ganas. Aku yakin, ketika banyak yang berenang disana, legenda Nyai Roro Kidung yang suka menyeret orang untuk dibawa ke kekerajaan bawah lautnya pun akan semakin tersohor karena ombak pantai tersebut memang tidak cocok digunkan berenang, bisa-bisa kamu akan terseret ombak yang guede itu. Aku pun tak melihat aktivitas sama sekali di sekitar pantai itu layaknya tempat wisata lain. Pun tak ada karcis untuk masuk karena tak ada yang jualan hahaha. Hanya ada puing-puing bangunan dan dikejauhan terlihat kapal nelayan. Sepertinya bangunan-bangunan tersebut pernah diterjang ombak. Padahal tak jauh dari bibir pantai, ada situs sejarah yang sayangnya tak begitu aku perhatikan.





Sebelum beranjak, aku melihat nenek-nenek yang tiba-tiba datang dan menuju bibir pantai. Aku sudah akan berlari dan menyeretnya sambil berkata “jangan nek! Walaupun nenek sudah tua, tapi nenek tak boleh mengakhiri hidup nenek secepat ini…!?” seperti di sinetron-sinetron, namun urung ketika aku lihat beliau memunguti sampah kayu di sekitar bibir pantai. Owwwhhhh so sweet…mungkin beliau akan menggunakannya untuk kayu bakar. Setelah memotretnya, aku pun bergegas menuju temanku untuk melanjutkan perjalanan.



Sampai pertigaan menuju Glagah, kami mampir di warung makan yang tak bisa disebut warung makan karena masakannya yang seadanya dan tempatnya yang teramat sempit, hanya ada satu kursi panjang. Kami pun makan nasi sayur dan ayam ditemani es teh (Rp.7000). Hmm walaupun sederhana seperti itu, tapi yummy…

Untuk masuk ke pantai Glagah, kami berdua hanya membayar Rp. 3500

Di sepanjang jalan menuju pantai, kami disuguhi pemandangan bangunan yang akan difungsikan sebagai pelabuhan. Oww ini tho pelabuhan di pantai glagah yang akan dibangun oleh pemerintah daerah Kulon Progo…batinku saat itu. Ketika telah memarkir motor dan menyerbu menuju pantai, kami tertegun oleh keindahan lagoon yang ada di daerah pantai itu. Ingin aku katakana dengan lantang bahwa lagoon itu sangat indah dan jernih. Di pinggirnya ada tempat duduk yang menggoda sekali untuk digunakan sebagai tempat berfoto sedangkan tak jauh darinya ada kapal-kapal yang siap disewa untuk mengantarmu menelusuri lagoon itu. Sayang sekali aku juga tak naik kapal itu padahal itulah yang khas dari Glagah.





Setelah menikmati keindahan lagoon, kami pun segera menuju pantai yang dari kejauhan terdengar bunyi ombaknya. Waww! Mau tidak mau, aku pun terkagum lagi terutama ketika melihat bongkahan material yang akan digunakan membangun pelabuhan. Ada jalan panjang untuk menikmati pantai secara langsung di atas bongkahan material berbahan dasar semen itu. Tak berapa jauh dari kami, ada rombongan remaja yang sedang bermain tarik tambang serta anak kecil pemberani yang gembira sekali berenang.







Ketika hampir meninggalkan Glagah, aku masih sepat memotret lagoon-nya yang bertambah indah ketika terik. Hmm satu kata untuk Glagah: KEREN!



Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Purworejo untuk menikmati sunset disana. Pantai Keburuhan segera terhapus dari daftar pantai kami karena tergantikan oleh alun-alun Purworejo dan es …Yap makan siang kami pun nikmat karena kehadiran soto dan es ireng. Btw, es ini khas Purworejo lho.



Waktu pulang, aku pun tertarik dengan pemandangan persawahan dengan latar pegunungan yang indah.







Sebelum menikmati sunset di Pantai Jatimalang, kami sempat mampir di perkebunan melon untuk merampok melon yang maknyus untuk kami bawa pulang. Hehe bohong deh, kebetulan temanku adalah pegawai di perkebunan itu, jadi kami dapat gratisan satu melon untuk kami bawa pulang.



Dan tibalah saat yang saya tunggu-tunggu yaitu sunset di Jatimalang. Kata teman saya, sunset di pantai ini indah sekali, begitu pula dengan pantainya, tak kalah dengan Parangtritis. Dan benarlah, pantainya memang keren sekaleeeee. Ini adalah salah satu pantai yang perlu dilestarikan dan dijaga keindahannya. Hah aku sempat risih waktu itu karena pemandangan yang indah itu terkotori oleh sampah-sampah pengunjung. Mbok dikasih tempat sampah gitu lho. Atau ada petugas khusus untuk membersihkan pantai itu. Bukannya ongkos masuk berfungsi untuk itu ya…Anyway, ngomong-ngomong tentang ongkos masuk, karena sudah sore, maka kami bisa langsung masuk tanpa bayar, gretongan Bos!







Damai, itu yang aku rasakan. Di kejauhan, aku masih dapat melihat matahari yang masih berpendar hangat. Di sekelilingku, muda-mudi sedang memadu kasih, dan tak jauh dariku, ada tawa anak-anak yang gaduh menyenangkan.





Setelah menunggu sekitar satu jam, sunset pun menjelang dan saat-saat itu pun begitu menyenangkan. Matahari merah semerah pipi gadis yang sedang malu dirayu kekasihnya (wuzzz bahasane rek)







Dan hari itupun aku tutup dengan berlari menuju motor kawanku karena dia tak sabar untuk meninggalkan tempat itu. Hmm dia bilang: “kamu tak kenal daerah ini nung, sebentar lagi, akan banyak anak muda yang mabuk di sini”. Aku pun mengalah dan segera meninggalkan matahari yang hampir tak terlihat lagi. Untuk terakhir kali aku menengoknya sambil mebatin dalam hati: “Terima kasih Gusti Allah, Kau memberiku kesempatan untuk bergaul dengan ciptaan indahmu hari ini.”

0 comments: