Monday, February 22, 2010

Menjadi Indonesia

Aku menulis ini menjelang magrib setelah membaca buku “Sejuta hati untuk Gus Dur” dan mendengarkan pandji yang sedang diwawancara di Swaragama. Kalau kamu belum tahu pandji yang mana, itu lho, pandji si presenter “kena deh!?” di TV7 yang lalu dipindah ke ANTV. Sekarang dia nyanyi. Aku kira, dia cuma sedang ikut-ikutan artis lain yang berbondong-bondong jadi penyanyi cinta. Tapi ternyata anggapanku salah! dia tidak sekedar nyanyi, dia menawarkan sesuatu yang lain, sesuatu itu adalah “hati” untuk indonesia. Yah dia mencampur lagu rap dan suara pas-pasannya dengan bumbu yang special. Lebih “meaning” dibandingkan lagu-lagu apapun yang pernah aku dengar. Yaitu seruan untuk sepenuhnya MENJADI INDONESIA. Lalu kenapa itu penting? Hah aku tak tahu harus mulai dari mana, tapi aku akan menceritakan sesuatu kawan, ceritaku…Ini sama sekali bukan bermaksud sombong, aku takut kau salah paham,,,

Waktu itu sore di bulan September, seseorang meng-sms aku yang ternyata adalah Marianus Kleden, dia berkata “Saya sedang membaca essay anda mbak Ainur, sangat cerdas dan NASIONALIS…” seterusnya dia bicara tentang pemecahan masalah essayku yang aku ikutkan dalam lomba menulis essay Tempo “menjadi Indonesia”. Aku tersentak, terutama dengan bunyi nasionalis yang aku cetak dengan huruf kapital diatas. Apakah memang nasionalis? Aku mengernyit dan menganggapnya lucu karena sebenarnya aku tak merasa seperti itu. Dan saat pemenang diumumkan, aku tambah kaget. Aku dapat nomer dua dan sama sekali tak merasakan hawa “wahhh”, karena aku hanya menulis saja. Hey!mungkin saja aku tak pantas menerima itu!? Dan mau tak mau, kemenangan itu sebenarnya membuatku berpikir. Yah aku berpikir lama setelahnya dan kadang membaca essayku lagi. Sebenarnya, aku tak se-nasionalis itu…mungkin masih banyak anak lain yang mengirim essay-nya dan lebih mencintai indonesia dibanding aku. Aku tak tahu, mungkin ketika menulis itu, aku kemasukan arwah pejuang sehingga jiwanya tercurah di tulisanku. Dan dari kemenangan itulah aku mulai belajar tentang sesuatu yang sebenarnya telah aku pelajari sejak lama lewat pelajaran atau kuliah yang berbau ke-pancasila-an, namun tak pernah aku resapi,,,yaitu menjadi Indonesia.

Aku tak akan bilang ini pelajaran, tapi aku akan bilang ini dengan “pengalaman”.


Pengalaman pertama adalah bertemu dengan 20 besar “Menjadi Indonesia”. Mereka adalah Mas Arif, Mas Firdos, Fathan, Made, Fakhri, Ayos, Rona, Prima, Mas Islah, Dea, Jati, Veri, Goklas, Nur Cholis, dan sidiq. “Orisinal”. Aku pikir itu kata yang paling menggambarkan mereka. Yup mereka memaknai Indonesia dengan cara mereka sendiri. Anak-anak yang “jadi mereka sendiri”. Aku tak melihat anak yang sok gaul dan berbicara dengan campuran bahasa inggris atau yang sok bicara berat dengan kata-kata yang sulit ku pahami (yang sering aku temui). Aku melihat orang-orang yang apa adanya, yang ingin melakukan sesuatu bagi negaranya, Indonesia. Ketika di Ismail Marzuki untuk acara penutupan setelah 5 hari kemah, aku begitu bangga berdiri diantara mereka. Bukan karena kami 20 besar, tapi karena aku diantara anak-anak yang mungkin lebih banyak berbuat sesuatu untuk Indonesia daripada aku yang tak pernah berkarya untuk Indonesia/banyak orang. Aku menemukan pengalaman yang tidak dapat terdeskripsikan. Dan dari sana, aku semakin penasaran,,,aku memantapkan niat untuk terus mencari “menjadi Indonesia”

Bulan Nopember kalau tak salah, aku presentasi essay di Universitas Sanata Dharma. Kau tahu kan ini universitas Kristen. Dan waktu itu, mungkin aku adalah satu-satunya orang muslim di ruangan yang penuh dengan orang kristen. Dengan jilbabku aku maju ke depan, mencoba tenang walaupun hatiku tak bisa berbohong bahwa “menjadi minoritas itu bikin was-was” hehehe. Yah aku seperti ada di tempat asing yang jauh dari hidupku biasanya. Dan diantara sekian banyak orang, tak ada yang ku kenal, aku sendirian. Tak ada pendamping yang menguatkanku seperti pendamping finalis yang lain. Tapi hatiku tenang karena seorang romo memberi sambutan dengan kata-katanya yang meneduhkan:“siapapun anda, anda punya hak yang sama”.

Dan Alhamdulillah keberuntungan ada di pihakku, akupun disuruh memberi sepatah dua patah kata. Aku tak berkata banyak waktu itu, semuanya mengalir karena aku tak diberi waktu untuk berpikir. Yang ku ingat waktu itu aku berkata “ketika datang tadi, saya merasa asing. Terima kasih telah memberi saya kesempatan berdiri di sini. Saya beruntung, bukan karena berdiri sebagai pemenang, tapi karena saya telah memperoleh kawan-kawan dan keluarga baru…” Itulah pengalaman kedua. Ketika ada dalam keadaan minoritas, aku semakin merasa berada di Indonesia. Yang begitu beragam dengan agama, suku, bahasa dll. Ternyata keberagaman itu indah ya,,,dan pesan mereka ketika aku akan pergi “berkunjunglah kapan saja, tangan kami selalu terbuka…”aku tersenyum…


Dan mungkin pengalaman ketiga adalah hari ini, 20 feb 2010. Aku menghabiskan buku “sejuta hati untuk Gus Dur” kurang dari dua hari karena begitu indah ceritanya. Aku menemukan orang yang begitu mencintai Indonesia. Tahukah kau, sewaktu kecil, aku bisa dikatakan dekat dengan dunia pesantren karena dibelakang rumahku berdiri pesantren. Dan ketika agak besar, aku mulai bosan dengan dunia pesantren karena aku banyak melihat ketidakteraturan dan para Kyai-nya yang tak “murni” lagi. Kebanyakan mereka ikut politik praktis atau berpartai, sehingga ke-kyai-an mereka secara pribadi aku ragukan. Iya kalau niatnya untuk perjuangan dan membawa kebaikan untuk semuanya, tapi bukan, terlihat sekali kalau mereka bersaing demi uang atau kekuasaan. Paling tidak itu yang terjadi di sekitarku yang berhasil aku temui. Tapi tadi setelah aku membaca itu, aku sadar bahwa tak semua Kyai begitu. Bahwa dunia yang dulu dekat denganku yaitu pesantren, sebenarnya tak pernah aku tinggalkan, karena banyak essay dan tulisanku yang bercerita tentang pasantren dan dunia seputarnya. Pesantren yang kadang aku “tak begitu suka” itu, disaat yang sama juga aku sayang dan ingin aku perjuangkan. Bahwa pesantren juga tak pernah terpisah dengan Indonesia,,,pesantren berjuang untuk Indonesia…Lalu kenapa aku harus memilih diantara keduanya?


Dan sebelum maghrib tadi, aku tak sengaja mendengar pandji diwawancara di radio swaragama. Aku baru mendengar lagu-lagunya dan tercengang. Mau tak mau, semangat itu datang lagi. Semangat untuk “menjadi Indonesia”. Negara ini pantas diperjuangkan, itu yang aku tangkap dari lagu-lagunya. Dan sebagai generasi muda, aku tak akan lagi menertawakan Indonesia yang memang penuh dengan ketidaksempurnaan, tapi dibalik ketidaksempurnaan itu masih banyak yang dapat dicintai dari Indonesia. Meaning yang sekali lagi membuatku “terpanggil” untuk melakukan sesuatu. Aku sarankan, dengarkanlah lagu-lagunya, walaupun secara kwalitas suara, dia tak bagus-bagus amat.

Aku akan menutup tulisan ini dengan satu bait lagu pandji feat Tompi:”Ini lagu, bukan lagu rindu. Ini lagu untuk membuka pikirmu. Kalau negeri ini bukan negeri babu, ayo anak negeri mana karyamu,,,”

Tunggu apa lagi, mari “menjadi Indonesia” sepenuhnya, Kawan!?

0 comments: