Sunday, August 15, 2010

Karyanya Sesederhana Namanya

Dia membentuk kadal dan kura-kura dengan ahlinya, seperti telah ditakdirkan sebelum dia terlahir. Dia mengajari teman saya dengan sangat sabar dan teliti. Seakan teman saya adalah anak-anak yang belum mengerti bentuk kadal dan kura-kura.


Kira-kira itulah kalimat yang ada di pikiran saya ketika melihat Ibu Sena membuat gerabah dengan berbagai bentuk. Saya bertemu dengannya ketika melakukan study excursion ke Lombok pada Desember 2009 silam. Tulisan ini pun saya buat tidak lama setelahnya, namun teronggok begitu saja di salah satu folder yang tiba-tiba ingin saya buka kembali.



Kembali lagi pada Bu Sena. Ibu Sena merupakan salah satu potret pengrajin gerabah yang ada di desa Banyumulek, Lombok, yang menjadi buruh sewa di Berkah Sabar, sebuah pusat kerajinan gerabah. Beliau bercerita tentang keahliannya membuat gerabah yang merupakan bakat turun-temurun dari nenek moyangnya yang juga berprofesi sabagai pengrajin. Tidak ada yang istimewa dengan bentuk kadal dan kura-kura yang Bu Sena buat. Cukup lima menit kadal telah jadi tanpa ada modifikasi. Kadal-kadal itu hanya berbentuk sedikit cekung dengan wajah yang sama, dan ukuran yang sama pula, seakan semua kadal kembar. Tidak ada kadal yang melingkar, mendongak, atau gendut.

Itulah sedikit gambaran tentang bagaimana gerabah yang diproduksi begitu homogen dan monoton, artinya tidak ada upaya inovasi yang dilakukan agar bentuk gerabah, seperti kadal tadi, menjadi lebih menarik karena ada nilai tambah (upgrading) berupa inovasi yang dilakukan pengrajin dalam tahap produksi. Ketika seorang pengrajin hanya mempertahankan suatu bentuk dan tidak ada upaya diversifikasi, maka produk tersebut dapat dipastikan berkurang peminatnya. Misalkan saja, seorang pembeli akan lebih berminat membeli satu jenis barang dengan berbagai macam varian daripada satu jenis barang dengan satu varian. Seseorang akan silau melihat kadal dengan berbagai bentuk dan membeli beberapa darinya daripada banyak kadal dengan bentuk yang sama, mungkin mereka akan cukup membeli satu.

Tidak salah jika ibu sena hanya dapat berpikir tentang bentuk kadal yang itu-itu saja. Pasalnya pengalaman atau proses sosialisasi yang beliau dapatkan dari lingkungannya, dalam hal ini pengrajin lain, juga demikian. Semua pengrajin memiliki bentuk produk yang sama. Dan menurut pengakuan Ibu Sena, beliau hanya mengikuti bentuk umum yang telah menjadi standar para pengrajin di desanya. Jikalau membuat berbeda dari style pada umumnya, itu pun karena adanya pesanan dari pembeli yang menginginkan bentuk yang berbeda. Bu Sena pun akan menuruti pesanan tersebut. Tidak ada upaya untuk membongkar kontinuitas yang telah berlaku umum. Beliau hanya mengikuti arus sehingga pemikiran untuk membuat hal berbeda dan inovatif yang sekiranya dapat meningkatkan nilai tambah produknya tidak terjadi.



Dalam kasus Bu Sena, upgrading tidak terjadi terutama dalam konteks teknis dan packaging produk itu sendiri. Dalam konteks teknis, proses produksi hanya menggunakan alat yang masih tradisional dan seadanya sehingga barang yang seharusnya dapat diproduksi dengan lebih cepat dan halus (artinya tanpa cacat), perlu waktu yang lebih lama dan membuat kwalitas barang tidak sesuai standar. Hal ini membuat produksi menjadi tidak efisien sehingga dapat mengurangi laba. Misalkan saja, produk yang cacat dan tidak sesuai standar akan segera dibuang tanpa ada pengolahan kembali. Ketidakefisienan waktu, tenaga, dan sumber daya terbuang percuma tanpa ada hasil.

Selain dalam teknis produksi, upgrading juga tidak terjadi, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, yaitu pada barang produksi itu sendiri. Padahal dengan adanya upaya inovasi, keterampilan pengrajin akan semakin terasah dan pada gilirannya menghasilkan barang produksi berstandar tinggi dengan alternatif pilihan yang beraneka ragam. Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata kendala yang umum ditemui pada pengrajin dalam pembuatan gerabah adalah minimnya keterampilan mendesain produk. Minimnya daya imaginasi, pelatihan, dan pengetahuan mengenai desain yang sesuai dengan permintaan pasar, misal desain modern, sangat minim sehingga kurang menarik minat pasar.

2 comments:

A Smile said...

kalo kayak gini, siapa yang musti tanggung jawab???...............

coklat panas said...

kayaknya yang tanggung jawab suaminya ibu sena, gak ngajarin berpikir kreatif sih...