Monday, August 16, 2010

tentang gembel

Sebentar sebentar sebentar, ini sebenarnya adalah tulisan pesanan dari seorang teman. Dulu katanya mau dibikin e-book, tapi agaknya tak ada kabar sampai sekarang. Nah daripada mubazir ngendon di dalam folder, mending aku posting aja. Teruuuuus kemarin pas seleksi Indonesia Mengajar, ada seorang kenalan "menarik" yang lagi nyari hal-hal tentang anak berambut gimbal di Dieng, jadi, tarararara!? mari kita mulai saja membaca

Bohong ngaku sudah ke Dieng tanpa bertemu dengan anak berambut gimbal. Hehe untunglah pagi itu kami dapat bersua dengan mereka. Sebut saja Srintil. Dia seorang anak berumur 2-3 tahunan dengan muka lugu yang berlebihan. Sesekali dia tampak ingin menangis karena menjadi objek jepretan Ayos dan Werdha. Hmm meskipun rambutnya gembel seperti tak pernah disisir, tapi itu membuatnya terlihat manis. Seperti dia telah mendapat petuah dari Rudi Hadisuarno tentang gaya rambut yang pas dengan mukanya. Sedangkan anak gimbal kedua juga seumuran dengan Srintil. Mmmm panggil saja Mariatun. Aku sempat menggendongnya dan dengan berani mencium rambutnya. Walaupun gimbal, ternyata bau rambutnya wangi, lebih wangi dari rambutku hehe. Berbeda dengan rambut gimbal Srintil yang hitam kecoklatan seperti bunga jagung, rambut Mariatun hitam diselingi kekuningan seperti terbakar matahari pada ujung rambut gimbalnya sehingga seperti padi-padian. In sum, ada beberapa jenis rambut gembel disana yaitu: Gembel Pari (seperti padi-padian), Gembel Jagung (seperti bunga jagung), Gembel Jata (seperti blok tebal dan panjang), Gembel Wedus atau Debleng (seperti bulu domba). Kami pun sempat berbincang dengan beberapa orang dewasa tentang fenomena tersebut. Aku akan menceritakannya untukmu. Ups, pesanku jangan mengantuk, coz It’s all about “squaliders”!

Mitos dibalik Gembel
Fenomena anak berambut gimbal di Dieng telah ada sejak dulu, tak dikatahui kapan persisnya. Gimbal adalah bahasa jawa yang berarti bergumpal. Menurut Drs. Widi Purwanto, seorang peneliti, dalam bukunya yang berjudul ”Dieng Plateau” mengatakan bahwa rambut gimbal adalah rambut yang saling melekat, sehingga menjadi gumpalan rambut menyerupai seutas tali atau bulu domba yang berwarna hitam kecoklat-coklatan dan kadang cenderung berwarna kemerah-merahan. Rambut gimbal mulai terjadi pada anak-anak laki-laki/perempuan yang berumur 40 hari-6 tahun di wilayah dieng. Uniknya hal ini hanya terjadi di kawasan dataran tinggi itu saja dan tidak ada sebab pasti yang dapat menjelaskannya, semisal faktor genetik dari orang tuanya. Bisa saja apa yang dialami Srintil, tak dialami oleh anak-anak lain seusianya, atau saudaranya. Jadi memang tak semua anak di dieng berambut gimbal. Menurut cerita masyarakat sekitar, sebelum gembel, Si anak mengalami pusing, diare, gatal-gatal dan demam tinggi. Gejala ini dapat berlangsung antara 1 hari – 2 bulan, lalu diikuti rambut yang mulai kusut dan menyatu satu dengan yang lain menjadi lintingan-lintingan yang terpisah-pisah.


Foto:mbah google

Hmm bukan orang Indonesia kalau segala sesuatunya tak dihubungkan dengan mitos tertentu. Paling tidak ada tiga versi tentang anak berambut gimbal di Dieng. Mitos pertama dan yang paling populer adalah kepercayaan masyarakat sekitar, terutama masyarakat Wonosobo, bahwa bocah gembel adalah anak keturunan dan kesayangan dari Kiai Kolodete. Konon sang kiai yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Dieng itu juga berambut gembel dan sangat terganggu dengan rambutnya. Karena itu Kiai Kolodete berpesan kepada keturunannya bahwa ia akan selalu menitipkan rambut gembelnya agar dia tenang di akhirat. Masih menurut cerita, Kiai Kolodete sendiri tidak mencukur rambutnya karena sumpahnya “hanya akan mencukur rambutnya sampai daerah yang ia bangun maju”.

Versi lain tentang Rambut Gembel adalah tentang Nyai Roro Kidul yang sangat terganggu oleh rambut manusia yang rontok yang kemudian dihanyutkan di laut selatan tempat Nyai Roro Kidul tinggal. Karena semakin lama semakin bertambah banyak, akhirnya Nyai Roro Kidul gerah dan memerintahkan kepada para abdinya untuk membersihkan rambut-rambut tersebut dengan cara memungutinya dari laut yang kemudian dikumpulkan dan dititipkan kepada anak-anak di daerah Dieng. Rambut-rambut yang telah dititipkan ini akan diambil jika orang tua si anak memenuhi permintaan Nyai Roro Kidul yang akan disampaikan melalui perantara anak itu ketika akan diruwat. Komen lagi: satu kesamaan antara Kiai Kolodete dan Nyai Roro Kidul adalah mereka sama-sama terganggu dengan rambut.

Dan cerita ketiga berhubungan dengan Kawah Sikidang. Dahulu kala ada ratu cantik bernama Shinta Dewi yang akan dilamar pangeran tampan dan kaya raya, bernama Kidang Garungan. Ratu Shinta pun mengajukan syarat untuk dibuatkan sumur. Saat sumur digali oleh pangeran Kidang Garungan, Shinta dan pengawalnya berusaha menimbun Sang Pangeran. Namun sebelum Sang Pangeran tertimbun, ia sempat mengeluarkan kesaktiannya hingga sumur itu panas dan meledak lalu mengutuk Ratu Shinta bahwa keturunannya kelak akan berambut gimbal. Satu pertanyaan yang paling masuk akal diajukan: apakah pangeran ini punya bau badan sehingga ratu shinta tak mau dengannya?

Prosesi Ruwatan
Anak berambut gimbal di Dieng dianggap dapat menimbulkan masalah atau musibah di kemudian hari. Musibah itu dapat terjadi pada anak itu sendiri seperti sakit-sakitan atau bahkan kematian dan/atau terjadi pada orang di sekitarnya. Dan untuk menghilangkan musibah, maka rambut gimbal tersebut harus dicukur. Namun tak asal mencukur, mereka harus melewati prosesi yang dinamakan ruwatan dimana rambut gimbal dipotong dengan menggunakan ritual tertentu pada waktu tertentu pula, biasanya dilaksanakan pada puncak musim kemarau. Ruwatan berasal dari kata “RUWAT” yang berarti Terlepas atau Bebas dari “SUKRETA” atau marabahaya yang akan timbul karena adanya ciri khas yang melekat pada anak atau orang tertentu.

Jika sebelum diruwat menandakan musibah, maka setelahnya, si anak diharapkan akan mendatangkan rejeki. Selain itu, diharapkan si anak akan memperoleh rambut yang normal pasca ruwatan. Namun apabila rambut gimbal dicukur tanpa melakukan ruwatan dan tanpa permintaan si anak, bisa jadi rambut gimbal tersebut akan tumbuh kembali dan dia akan sakit-sakitan. Meskipun dianggap sebagai musibah, namun orang tua harus tetap memperlakukan anaknya dengan baik sebagaimana mereka harus berbakti kepada leluhur yang telah berjasa kepada mereka. Salah satu kebaikan yang harus dilakukan orangtua terhadap anak gimbalnya adalah menuruti apapun yang diminta oleh si anak sebagai syarat sah-nya ruwatan.

Sekarang prosesi ruwatan dijadikan ajang tahunan dan dikoordinir oleh Pemerintah Daerah Wonosobo dan Banjarnegara. Ruwatan rambut gembel biasanya dilaksanakan sebelum si anak masuk sekolah (TK) atas 2 pertimbangan yaitu berdasarkan permintaan si anak dan kemampuan orang tua. Jika salah satu dari 2 syarat tersebut tidak terpenuhi maka upacara pencukuran rambut gembel tidak bisa dilaksanakan. Waktu upacara ruwatan ditentukan berdasarkan weton (hari kelahiran sang anak) sedangkan pelaksanaan upacara dihitung berasarkan neptu (nilai kelahiran anak yang akan diruwat). Sedangkan yang terlibat dalam upacara ini ada empat komponen, di antaranya anak yang akan diruwat, orang tua, pemimpin upacara (pak kaum) dan dukun ruwat. Diperlukan persiapan khusus untuk mengadakan upacara ruwatan seperti tempat upacara dan benda-benda sesaji. Tempat upacara biasanya dilakukan di Goa Semar. Sedangkan sesaji yang disiapkan meliputi tumpeng, ingkung ayam (ayam besar utuh), gunting, mangkuk yang berisi air dan bunga setaman, beras, 2 buah uang, payung dan permintaan anak yang diruwat.

Upacara ruwatan rambut gimbal telah menggabungkan unsur ajaran islam meskipun masih sarat dengan unsur kejawen. setelah diawali dengan kata sambutan, tahlil, dan pembacaan ayat-ayat Alquran, kemudian pada saat pak kaum membacakan shalawat dan dukun ruwat selesai membaca doa, dalam iringan sholawat dimulailah acara pencukuran. Dalam meruwat, dukun harus memandikan anak gimbal terlebih dahulu. Setelah itu kepala anak diasapi dengan kemenyan, selanjutnya sang dukun memasukkan cincin yang dianggap magis ke tiap helai rambut gimbal lalu mencukurnya satu-satu. Rambut yang telah dicukur lalu dibungkus dengan kain putih lalu dilarung di Telaga Warna Dieng atau ke sungai Serayu. Biasanya, air suci diperoleh dari tempat-tempat keramat di kawasan Dataran Tinggi Dieng seperti di Goa Sumur.

Jangan kuwatir, akan banyak hiburan di hari ruwatan itu seperti kuda lumping, tayub, tarian thek-thek, dan kalau mau yang modern sedikit, ada musik dangdut dan keroncong. Tariiiiik Mang!?

0 comments: