Thursday, November 4, 2010

Lebih Dari Sekedar Tempat Membaca (2)

Lanjutan...

Andaikan Semua Perpustakaan Menyenangkan

Keunikan perpustakaan di depan rumah saya mau tidak mau sering mengusik pikiran saya. Banyak hal berbeda yang saya rasakan ketika saya mengamati perpustakaan di desa saya dengan “perpustakaan pada umumnya”, semisal perpustakaan di SMA atau kampus saya. Di “perpustakaan pada umumnya”, semua diam dengan penjagaan yang ketat. Saya faham sepenuhnya bahwa perpustakaan merupakan tempat membaca dan oleh karenanya perlu ketenangan di dalamnya. Namun disadari atau tidak, saya lebih sering merasa bosan dan bahkan menganggap keadaan tersebut menegangkan dan suram. Selain itu, perpustakaan tidak pernah dianggap sebagai tempat yang friendly untuk semua orang. Misalkan saja, banyak dari teman kampus saya yang mengkategorikan tipe-tipe anak yang sering pergi ke perpustakaan sebagai orang yang serius, pintar, memakai kaca mata tebal dll. Lalu anak-anak yang tidak dalam kategori tersebut menjadi tidak merasa perlu bahkan menjauhi perpustakaan. Tentu hal tersebut pantas disayangkan, padahal perpustakaan bukan hanya milik anak yang berkaca mata tebal.

Lalu bagaimana membuat perpustakaan tersedia untuk semua? Saya rasa kita perlu mengubah paradigma ataupun ruang lingkup pengertian perpustakaan yang sangat sempit tersebut. Pengertian yang saya tangkap selama ini adalah perpustaan tidak lebih dari sebuah ruangan yang didalamnya tersimpan banyak buku karangan para penulis dari zaman dulu sampai sekarang, sepi, dan hanya perlu datang ketika benar-benar terpaksa, semisal ketika harus menyelesaikan skripsi atau tugas. Paling tidak itulah anggapan saya. Jauh di lubuk hati saya, saya ingin mengubah anggapan yang terlanjur tertanam tersebut. Saya sering bertanya, kenapa perpustakaan tidak dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan seperti halnya yang terjadi di Madrasah Nashirul Ummah? Tempat untuk berdiskusi, menciptakan hal-hal baru semisal tulisan ilmiah atau bahkan diary, mungkin pula membuat club-club bacaan yang sesuai dengan minat pengunjung dll.

Tidak gampang untuk mengubah atau menjadikan sebuah sistem yang telah sustain berubah. Permasalahan yang paling umum saya temui di perpustakaan sehubungan dengan interaksi antara perpustakaan sebagai sebuah bagian dari institusi pendidikan dan pengunjung sendiri adalah minimnya kepercayaan (trust) pihak perpustakaan terhadap pengunjung. Ketakutan adanya pengutil atau pencuri koleksi perpustakaan menjadi justifikasi terhadap ketatnya pengamanan di perpustakaan. Misalnya tidak diperbolehkannya peminjam membawa buku atau jaket ke dalam perpustakaan. Terkadang hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman bahkan ketidaknyamanan Si pengunjung sendiri, sehingga membuat mereka semakin malas pergi ke perpustakaan. Bagi pengunjung sendiri, hal tersebut menggiring mereka pada sikap free riding karena tidak adanya perasaan kepemilikan dan tanggungjawab bersama untuk memelihara keberlangsungan perpustakaan.

Apabila di perpustakaan Madrasah tadi mekanisme trust dilakukan karena adanya perasaan saling memiliki public goods, maka di perpustakaan yang “minim rasa percaya” juga dapat diterapkan prinsip yang sama. Mekanisme yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan resep di Madrasah tadi yaitu memberikan alternatif cara pandang baru dengan menganggap perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dimana kita dapat berkontribusi dalam bentuk apapun dan oleh karenanya perlu kita jaga bersama-sama. Yang terpenting menurut saya bukanlah apakah mekanisme itu akan berhasil atau tidak, namun seberapa besar kepercayaan kita terhadap terlaksananya mekanisme tersebut.

Selain menanamkan trust antara kedua belah pihak, juga perlu adanya upaya pengubahan karakter dan identitas perpustakaan. Perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan available bagi setiap orang merupakan citra dan identitas yang harus selalu disosialisasikan. Tidak penting apakah seseorang akan menerima persepsi tersebut atau tidak, namun ketika seorang pustakawan mengatakan “datanglah kesini lagi mbak/mas”, maka menurut saya hal tersebut adalah proses sosialisasi yang akan selalu membekas di otak seseorang (repeated behaviour). Sekali lagi, saya tidak menganggap sistem yang ada di perpustakaan selama ini salah, namun saya sebenarnya pesimis terhadap eksistensi perpustakaan yang semakin terabaikan karena selama ini yang ada di benak kita adalah “pergi ke perpustakaan untuk membaca”. Lain ketika saya melihat fenomena di Perpustakaan Madrasah di depan rumah saya, perpustakaan adalah suatu hobi, teman, dan tempat yang asyik. Paling tidak itulah keteladanan yang ingin saya tekankan pada bagian kedua ini.

Belajar Character Building dari Sepetak Ruangan

Ketika berbicara pembentukan karakter atau dalam bahasa kerennya character building, maka mau tidak mau ingatan saya tertuju pada sosok pendidik kita yang tersohor, Ki Hajar Dewantara. Dalam proses pembentukan karakter, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana mendidik seseorang (terutama di institusi pendidikan) agar tidak hanya pintar tetapi juga “berwatak”. Oleh Ki Hajar Dewantara dirumuskan dengan tiga kata yaitu cipta, rasa, dan karsa. Ketiganya lebih lanjut dijabarkan sebagai tiga langkah dalam proses pendidikan watak yaitu: langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Berdasar analisis ini, character building pada dasarnya adalah membimbing seseorang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai yang Profesor Phenix katakan sebagai “voluntary personal commitment to values”.

Perpustakaan di Madrasah kecil depan rumah saya mau tidak mau telah membuat saya terkagum. Ada banyak makna yang tidak hanya dapat dideskripsikan dengan materi, jauh dari itu, ada unsur pendidikan watak di dalamnya. Bayangkan saja, bagaimana mungkin anak-anak di Madrasah tersebut dengan sukarela mematuhi peraturan tanpa ada unsur paksaan? Dan saya pikir jawabannya sederhana saja. Mereka telah melewati langkah terakhir yang oleh Phoenix disebut sebagai voluntary personal commitment. Komitmen sendiri didefinisikan sebagai langkah atau tindakan yang diambil dalam rangka menopang suatu pilihan tindakan tertentu, sehingga pilihan tindakan tersebut dapat dijalankan dengan mantap dan sepenuh hati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pilihan anak-anak untuk mencintai perpustakaannya ditopang oleh komitmen antara lain identitas bersama sebagai pemilik public goods. Sedangkan mekanisme dari internalisasi terhadap komitmen tersebut secara langsung ada dalam tahap penghayatan nilai.

Nilai-nilai kejujuran, kekerabatan, dan aktualisasi diri merupakan character building yang secara tidak sadar sedang dibangun di Perpustakaan Madrasah tersebut. Saya kira, nilai-nilai tersebutlah yang sedang dirindukan oleh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Dan alangkah indahnya kalau karakter tersebut ditanamkan sejak dini. Cara penanamannya sendiri tidak harus dengan cara-cara revolusioner dan terkesan memaksa (coertion), tetapi dengan cara-cara yang mereka suka sehingga pada gilirannya, akan secara sukarela mereka ikuti.

Penutup

Saya telah belajar banyak hal dari perpustakaan sebuah Madrasah kecil di desa saya. Di dalamnya saya dapat menemukan sebuah perpustakaan yang sedang saya rindukan yaitu perpustakaan yang asyik tetapi juga bermanfaat. Lebih jauh, perpustakaan tersebut juga mengajarkan tentang pentingnya mekanisme selain substansi, artinya makna perpustakaan bukan hanya sebagai tempat untuk menimba ilmu dari buku, tetapi juga sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter generasi muda. Melihat anak-anak yang senang berada di Perpustakaan Nashirul Ummah mau tidak mau memberi harapan baru bagi saya yaitu harapan akan munculnya perpustakaan-perpustakaan sejenis. Bayangkan apabila sekolah-sekolah yang tidak memiliki perpustakaan (layaknya MI Nashirul Ummah dulu) mulai merintis hal yang sama, maka akan lebih banyak generasi penerus bangsa yang memiliki kepintaran otak dan watak seperti halnya yang diidamkan Ki Hajar Dewantara dan saya tentunya. Semangat!?

Referensi


Buchori, Mochtar, “Pendidik”, Kompas, 04 Maret 2007, diakses di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm pada 09-11-2009
Elster, John (1989), The Cement of Society: A Study of Social Order, Cambridge, MA: Cambridge University Press

Kollokc, Peter (1998), “Social Dilemmas: The Anatomy of Cooperation” dalam Annual Review of Sociology

Panggabean, Rizal (2008), ‘Komitmen dan Dekomitmen’, Hand out Kelas Strategi, HI UGM
Saimpson, Erica (2001), “Games, strategies, and Human Security”, Monitoba: Canadian Peace Research and Education Association



Selesai_

0 comments: