Friday, November 12, 2010

Memotong Rantai “Kekerasan Gender” Melalui Pendidikan Perdamaian

Yang namanya jagoan, biasanya gak pake rok

(Sherina: Jagoan )

Ketika berbicara mengenai kesetaraan gender, terkadang otak saya langsung membayangkan tentang penyiksaan seorang suami terhadap istrinya yang tidak berdaya. Atau bayangan tentang sedikitnya perempuan yang ada dalam struktur pembuatan kebijakan di negara ini sehingga segala keputusan penting menyangkut nasib anak bangsa dan khususnya perempuan, diputuskan oleh laki-laki. Lalu saya berpikir, mengapa subordinasi dan kekerasan ini masih saja terjadi bahkan ketika kesetaraan gender telah banyak digembar-gemborkan? Paling tidak ketika presiden kita seorang perempuan. Percaya atau tidak, saya baru menemukan jawabannya ketika saya mendengarkan lagi lagu Sherina yang berjudul “jagoan” yang waktu itu menjadi soundtrack film Petualangan Sherina (2001). Walaupun sebenarnya, saya telah lebih dulu “ditempeleng” dengan banyaknya interaksi kekerasan gender di lingkungan dimana saya melakukan kegiatan sosial, yaitu di bantaran kali Code, Yogyakarta. Tulisan ini adalah semacam refleksi tentang berbagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender pada anak-anak di bantaran Kali Code yang dilakukan oleh sebuah komunitas belajar bernama Cemara.

Anak-Anak dan Permasalahan Gender

Setiap kali saya turun ke Code untuk melakukan bimbingan terhadap anak-anak di bantaran kali Code, saya sering menemukan interaksi yang bias gender yang berujung pada kekerasan. Misalnya, anak laki-laki dan perempuan selalu merasa sebagai musuh satu sama lain sehingga anak perempuan hanya akan bergaul dengan sesama jenisnya, begitupun sebaliknya. Ketika mereka terlibat dalam satu interaksi, biasanya yang terjadi adalah saling mengejek dan memukul. Saya rasa, hal itu tidak hanya saya temui di lingkungan code yang notabene “kurang berpendidikan”, tetapi juga di lingkungan anak-anak yang mapan secara ekonomi maupun pendidikan. Sedangkan bagi orang dewasa, tingkah laku tersebut hanya dianggap sebagai kenakalan anak-anak pada umumnya, tanpa berpikir tentang keberlanjutan kebiasaan tersebut apabila mereka telah dewasa.

Sebut saja nada, dia adalah salah satu anak yang ikut belajar bersama cemara. Dia selalu diejek oleh teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai gadis berkumis karena di bagian bawah hidungnya ada bintik-bintik hitam. “mana ada anak perempuan berkumis?”, saya sering sekali mendengar ejekan itu. Tidak hanya pengalaman Nada, kekerasan gender juga terjadi ketika anak laki-laki mengejek atau memukul anak perempuan, lalu anak perempuan akan melakukan hal yang sama dan aksi saling memukul pun akan terjadi. Saya pikir, bagaimana mungkin kekerasan gender tidak terjadi kalau sejak kecil saja anak-anak telah terbiasa saling mengejek dan mengkotak-kotakkan? Dan hal yang paling buruk dari itu semua adalah, kekerasan juga terjadi antara kelompok-kelompok anak perempuan. Lalu saya pun berpikir, anak-anak ini mungkin saja tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap sesama dan lawan jenisnya. Mungkin saja mereka belum mampu memaknai keberadaan dan peran mereka sebagai anak perempuan dan laki-laki sehingga apa yang mereka pikirkan adalah apa yang nampak secara fisik.

Seperti anak-anak di Code yang belum dapat memaknai peran mereka, saya pun masih belum mampu memaklumi fenomena sosial diatas sampai saya teringat lagu Sherina yang di dalamnya mempertontonkan aksi saling ejek antara anak laki-laki dan perempuan. “yang namanya jagoan, biasanya gak pake rok”, itu salah satu penggalan liriknya. Saya tidak sedang menilai jelek lagu itu, saya hanya berpikir tentang proses sosialisasi sejak kecil, yang diakui atau tidak, sangat mendukung adanya bias gender yaitu laki-laki dan perempuan masih dilekatkan dalam simbol-simbol tertentu dan itu mewakili peran mereka secara keseluruhan. Bagaimana mungkin anak-anak yang nantinya menjadi dewasa akan hidup dengan damai (setara) kalau dari kecil, mereka telah terbiasa mengecap aturan, pola, dan tingkah laku yang mencontohkan ketidakdamaian/ketidaksetaraan gender? Pola dimana ketua kelas dari dulu adalah laki-laki yang memimpin doa, mewakili lomba, mengatur barisan sebelum masuk kelas dll. Iklan di televisi tentang anak perempuan yang diganggu oleh anak laki-laki lalu muncul pahlawan yang juga laki-laki, sementara Si anak perempuan hanya menjerit tanpa dapat melakukan apa-apa. Banyak pembakuan peran tanpa penjelasan yang kadang sangat bias gender di sekitar kita.

Membiasakan Penyetaraan Gender Melalui Pendidikan Perdamaian

Menurut Cremin, pendidikan perdamaian jika dihubungkan dengan pendekatan berdasarkan keterampilan dan tingkah laku diartikan sebagai:

a global term applying to all educational endeavors and activities which take as their focus of promotion of a knowledge of peace and peace-building and which promote, in the leaner, attitudes of tolerance and empathy as well as skill in cooperation, conflict avoidance and conflict resolutionso that learner will have the capacity and motivation, individually and collectively, to live in peace with others
(Cremin, 1993).

Sebagaimana definisi di atas, pendidikan perdamaian yang Cemara terapkan di Code memiliki dimensi yang sangat luas, termasuk menyentuh ide-ide kesetaraan gender. Satu hal yang penting dari proses pendidikan tersebut adalah metode dan tujuan pengajaran yang berbasis pada nilai perdamaian. Menghormati perbedaan gender, agama, suku adalah sedikit contoh dari nilai-nilai yang berusaha cemara biasakan. Kenapa dibiasakan? Karena model pengajaran cemara tidak seperti sekolah pada umumnya. Tidak ada proses doktrinasi atau menggurui layaknya di sekolah formal dimana anak harus patuh, namun lebih pada pemberian contoh dengan tindakan yang sarat nilai.
Proses pembiasaan pun sangat sederhana. Misalnya, setiap anak memiliki hak yang sama untuk memimpin doa sebelum belajar bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika membuat kelompok, anak laki-laki maupun perempuan sengaja dicampur agar dapat berbaur dan bekerjasama. Dalam permainan pun, ada nilai-nilai yang berusaha cemara sampaikan tanpa anak-anak sadari. Misalnya ketika membuat permainan ular tangga, satu kelompok menulis tentang “ketika kamu berada dalam kotak ‘mengejek Nada’, maka kamu akan turun di kotak ‘tidak punya teman’.” Ketika membuat kolase dari kertas dan kotak bekas, tidak hanya robot laki-laki yang kami buat, tetapi juga perempuan. Lalu ketika cemara memberikan sesuatu semisal wafer, maka setiap anak akan mendapatkan jumlah yang sama tanpa pengecualian. Banyak sekali metode interaksi yang cemara terapkan dimana mekanisme dan tujuan berjalan beriringan.

Penutup

Perlu kita sadari bahwa pola ketidaksetaraan gender sebenarnya telah berlangsung bahkan ketika seseorang masih anak-anak. Sehingga ketika dewasa, orang telah terbiasa dengan proses sosialisasi yang telah mereka alami sejak kecil. Maka dari itu, kita harus mulai kritis dan melakukan koreksi terhadap pola tersebut dan menentukan langkah demi kesetaraan gender, terutama membiasakan damai gender sejak dini. Cara yang paling mungkin untuk dilakukan adalah melalui pendidikan perdamaian dengan metode dan nilai-nilai yang bernafaskan kesetaraan gender. Ibaratnya, kita sedang memotong suatu pola kekerasan (bias) gender dengan membiasakan pola pikir dan tindakan tentang bagaimana memposisikan lawan jenis sejak dini. Sehingga ketika seseorang telah dewasa, mereka tidak lagi mempertanyakan dan membicarakan tentang pelanggaran gender apa saja yang terjadi di sekitar mereka, tetapi lebih jauh, mereka telah beralih pada pembicaraan bagaimana seharusnya seorang lelaki/perempuan memperlakukan lawan jenisnya dengan lebih baik.

Referensi

Peadar Cremin, 1993, Education for Peace, Educational Studies Association: Berlin


Esai ini menjadi salah satu finalis dalam lomba menulis esai ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika) dan ada dalam buku kumpulan Esai "Asa Itu Masih Ada"

0 comments: