Tuesday, November 30, 2010

Sebuah Tor Wawancara

Suatu hari saya mendapat sebuah tor wawancara dari sebuah organisasi. Intinya, pertanyaan yang mereka ajukan masih seputar dunia tulis-menulis yang saya sukai dan esai saya yang berjudul "Mempertahankan Menjadi Indonesia". lengkapnya bisa dibaca disini http://secangkircoklatpanas.blogspot.com/2010/11/mempertahankan-menjadi-indonesia-di_04.html



Inilah, tanya-jawab yang membuat saya (cukup) kesulitan mencari jawabannya, namun memancing untuk kritis dan jujur.

1.Sejak kapan Ainur Rohmah menyukai dunia tulis menulis, esai, kolom? Selama menekuni dunia penulisan, pengalaman menarik apa yang Ainur temukan?

Ketika remaja, saya suka menulis diary. Ketika berada di bangku kuliah, saya suka membaca tulisan-tulisan salah satu dosen saya yang kebanyakan berupa esai. Dari sana, saya mulai tertarik lebih jauh untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, terutama esai.

Pengalaman menarik yang saya temukan lebih kepada proses ketika menulis itu sendiri. Saya mencari ide, bertemu dan bersosialisasi dengan objek yang ingin saya tulis, dan hal itu banyyak memberikan pengetahuan baru bagi saya. Misalnya ketika menulis tentang sebuah komunitas belajar di bantaran kali code, saya berusaha untuk mendalami mereka, merasakan bahwa saya adalah juga bagian dari mereka.

2.Menurut Ainur, apakah ketiadaan kurikulum life skill di pesantren memiliki kaitan tidak langsung dengan aksi - aksi sektarian seperti terorisme? Jika Ya, bagaimana hubungan keterkaitan itu?

Absolutely, menurut saya iya. Lebih tepatnya ini adalah sebab pendukung. Saya kira, banyak dari kita telah tahu bahwa sebab-sebab ekonomi –ketimpangan ekonomi lebih jelasnya, adalah hal yang membuat seseorang memberontak. Saya pikir itu pula yang terjadi pada orang-orang pesantren yang akhirnya menjadi teroris. Kehidupan mereka gersang dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif sehingga manifestasi dari frustasi tersebut berupa aksi radikal. Ketika mereka tahu setelah lulus mereka juga akan bekerja, maka mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih jelas. Mereka dapat menyusun cita-cita dan melakukan kegiatan layaknya orang yang kuliah atau sekolah pada umumnya.

3.Dalam esai, Anda menawarkan tiga solusi untuk mempertahankan pesantren agar tetap berada dalam bingkai k e- Indonesia-an: pertama, menjalankan kurikulum pendidikan perdamaian, baik sebagai materi pelajaran, maupun pendekatan PBM; kedua, mengembangkan metode berpikir kritis dan dialogis tentang kebinekaan di Indonesia; ketiga memasukkan kurikulum life skill sebagai bekal kehidupan begitu lulus dari pesantren. Bagaimana caranya agar pesantren salaf bisa menerima intervensi kurikulum tentang Islam Damai, atau Islam yang Rahmatan Lil Alamin, atau Islam Indonesia, sementara mereka membiayai pendidikan pesantren sendiri? Atau berdalih bahwa domain Kementerian Agama terbatas pada pendidikan formal yang dikombinasi dengan boarding school, MIN, MTS, MAN?

Ini sebenarnya bidang sensitive. Tapi percayalah pada saya bahwa uang dapat bicara banyak. Ikat mereka dengan memperlakukan pesantren sebagai mitra. Maksudanya bantu mereka untuk berkembang baik itu berupa uang, pelatihan, dan jaringan. Dekati mereka lewat pemimpin utamanya, yaitu kyai yang disegani di pesantren itu. Kalau pemimpin tertinggi sudah berteman pada kita, maka kebijakan pesantren tersebut kemungkinan besar dapat dimodifikasi dengan misi kita. Saya pikir, banyak pula pemimpin pesantren yang telah berpikir terbuka. Mereka mau mendengarkan asalkan kita menunjukkan kesungguhan untuk berniat baik. Ketika berniat intervensi, kita harus memperlakukan mereka sebagai mitra, bukan musuh atau pihak yang harus takluk, karena mereka adalah pihak independen yang perlu proses lama untuk “ditembus”.

4.Bagaimana pendapat Ainur Rohmah dengan kaidah usul fikih yang berbunyi "Wilayatul Khos Afdlalu min wilayatil aammah" dan hadits yang berbunyi khubbul waton minal iman? Apakah kaidah usul fikih dan hadits tersebut tidak mampu menumbuhkan kecintaan pesantren pada tanah air?

Sebelumnya saya tanya dulu, jangan-jangan mereka (orang islam ekstrem) malah tidak pernah menganggap Indonesia adalah negaranya sendiri? Lalu bagaimana mereka akan mengamalkan kaidah atau khadits tersebut kalau mungkiin saja mereka lebih merasa arab daripada Indonesia? Proses belajar di pesantren sifatnya sangat luas. Semua tergantung konten. Percuma saja slogan itu kalau para santri tidak pernah belajar apa itu Indonesia. Tidak perlu seperti pelajaran PPKN atau Pancasila yang katanya untuk mengetahui Indonesia, tapi cukup tentang realitas tentang negaranya ini. Apa yang perlu mereka perjuangkan dan apa kontribusi yang dapat mereka lakukan. Dulu ketika masa revolusi kemerdekaan, pesantren berperan banyak karena mereka mengalami apa yang terjadi saat itu, namun sekarang tidak. Mereka tiap hari belajar islam yang juga berarti arab. Lalu kenapa mereka harus merasa Indonesia?

5. Bagaimana kesan tentang Indonesia waktu masih SD dengan saat ini?

Saya tidak pernah mengerti apa Indonesia saat saya masih kecil. Saya tinggal di desa yang cukup terpencil dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang ketat. Saya rasa Indonesia adalah sebatas lingkungan rumah saya dan ibu kota kecamatan saya. Saya baru bertemu orang selain islam ketika saya SMA. Dan saya baru bertemu orang papua ketika saya kuliah. Duania saya begitu kecil sehingga saya tidak pernah mendapat gambaran nyata mengenai Indonesia kecuali lewat buku-buku pelajaran ketika SD sampai SMP. Saya kira itu pula yang dialami banyak anak muda yang berada di pesantren. Pemahaman mereka mengenai Indonesia sangat sempit ketika masuk ke pesantren sedangkan ketika mengenyam pendidikan disana, mereka setiap hari belajar untuk menjadi arab.
Kembali lagi pada kesan saya mengenai Indonesia. Saya merasa benar-benar terlibat dengan Indonesia ketika saya banyak menemukan realitas dan bergaul dengan isu-isu yang selalu dibicarakan di negeri ini. Saya mendapat pengalaman dari perkampungan kumuh di pusat kota Yogyakarta yaitu bantaran kali Code. Kemiskinan itu membuat saya terlibat secara emosi. Saya mendalami mereka dan menemukan bahwa ternyata saya bagian dari mereka. Dan mereka adalah juga Indonesia. Empati saya terbangun. Lalu pergaulan saya yang semakin luas dengan berbagai macam suku, agama dll. Itu membuat saya sadar tentang Indonesia yang beranekaragam. Tentang Indonesia yang serba kekurangan namun karena itu, harus diperjuangkan demi keadilan.

6. Apa harapan Ainur terhadap Indonesia di masa mendatang?

Saya ingin pemerataan ekonomi, pendidikan, hak dasar setiap warga negara terpenuhi. Tanpa kompromi. Memang sangat ideal, tapi itu bukannya tidak mungkin terwujud. Tugas mewujudkannya bukan hanya ada di tangan pemerintah, tetapi juga semua entitas bangsa ini. Saya ingin anak muda mulai perduli lingkungan terdekatnya. Mereka melakukan sesuatu, tidak hanya protes atau mengkritisi. Aksi aksi aksi!

7. Setiap orang mungkin tak jarang merasakan kebosanan, baik untuk belajar, maupun yang lainnya, punya ngga kiat mengusir kebosanan yang mengganggu proses kreatif?

Ketika mengalami kebosanan yang menghambat proses kreatif saya, saya biasa menghentikan aktivitas saya sebentar, pergi keluar rumah/kos, dan berjalan menikmati swasana kota. Banyak inspirasi yang datang dan memecahkan kebuntuan di otak. Saya tak ingin memaksakan diri mengerjakan apa yang tidak/belum saya kerjakan, perlu waktu sebentar untuk berhenti, dan melanjutkannya lagi ketika kita sudah siap.

0 comments: