Sunday, November 14, 2010

Menyentuh yang Tak Tersentuh

Hari sabtu minggu lalu mungkin adalah hari paling seru dalam sebulan ini. Saya buka tanggal itu dengan menjemput seorang teman dari Jakarta di stasiun tugu pada jam 02.00 dini hari. Hoho saya sebenarnya tidak berani, plus mata masih ngantuk, tetapi kasihan juga kalau dia terlantar. Namanya Maya, tepatnya Maya Wuysang. Saya kenal dia setahun yang lalu saat Kemah Menulis Tempo. Dia adalah tipe anak yang atraktif luar biasa, hebring, tapi sangat menyenangkan.

Setelah saya menjemputnya, kami menuju kos saya. Sisa hari itu pun kami manfaatkan mengobrol ngalor-ngidul. Dia cerita tentang KEM 09 dan beberapa gosip tentang petinggi Tempo. Hahaha. Pagi-pagi udah ngegosip aja. Lalu paginya, saya harus bergegas untuk melakukan pendampingan kepada anak-anak pengungsi di daerah Budi Mulia 2. Sementara itu, Maya jalan-jalan dengan teman lain yang juga dikenalnya.

Pendampingan anak berjalan dengan baik. Kami bernyanyi, bermain banana unite, dan mewarnai. Tentu tak ketinggalan, bagi-bagi hadiah berupa alat tulis kepada anak-anak itu. Sayang sekali anak-anak yang datang sedikit, jauh dari perkiraan sebelumnya. Saya pun sempat bergabung dengan kelompok pendampingan untuk orang dewasa. Mereka melakukan senam refleksi. Owww ternyata ikut senam ini menyenangkan. Badan jadi lebih enakan. Para orang dewasa, dan kebanyakan sudah manula, senang sekali mengikuti senam itu. Seperti saya, mereka merasa itu berguna untuk mereka. Saya pun berpikir, sebenarnya inilah saat-saat untuk kita memberdayakan mereka, memperkenalkan hal-hal yang mungkin baru untuk mereka agar itu nantinya dapat berguna bagi mereka. Inilah upaya untuk empowerment, bukan sekedar mengisi waktu mereka di barak pengungsian, bukan begitu?

Pendampingan selesai, saya pun langsung menuju stasiun Tugu untuk bertemu Maya dan Mas Islah (yang juga teman kami). Sebelumnya, mas islah telah memberitahu saya untuk bantu-bantu poskonya. Kebetulan mereka sedang kekurangan tenaga untuk mendistribusikan barang. Dan karena tidak ada kerjaan, hayok saja, hehe. Saya dan Maya dipertemukan dengan beberapa relawan yang kesemuanya mengurusi posko tidak tetap tersebut. Mereka adalah komunitas blogger yogyakarta. Setelah kenalan, mereka menawari kami untuk bergabung dalam tim pendistribusian barang ke daerah-daerah yang tidak terlalu tersentuh oleh bantuan. Tepatnya di kecamatan Ngluwar, Muntilan. Hoho, entah otak saya yang lagi hang atau karena melihat Maya yang luar biasa semangat, saya pun menyanggupi unutk ikut. Padahal saya tidak tahu medan sama sekali. Pun Muntilan selama ini adalah daerah yang terlihat sangat berbahaya dibanding dengan daerah lain.

Hampir jam 13.00 kami berangkat menuju pos di Gunung Pring, Muntilan. Di sana adalah basis pengungsian yang dikelola oleh para Mapala. Saya sempat menengok aktivitas anak-anak yang sedang bermain di salah satu ruangan yang difungsikan sebagai tempat belajar mereka. Ah hati saya tak tega mengatakan ini. Mereka sangat tidak terurus dan saya bayangkan, kegiatan yang mereka lakukan pun tidak terorganisir sama sekali. Anak berteriak-teriak, berlari, menggambar tidak teratur, dan semua serba berantakan. Sementara di luar ruangan, beberapa orang dewasa duduk-duduk sambil bengong, entah apa yang mereka pikirkan.

Kadang saya berpikir tentang sebuah mimpi. Saya ingin punya, kalaupun tidak punya tapi ada, sebuah organisasi yang khusus untuk penanganan selama dan pasca bencana. selama bencana, para delegasi, halah bahasanya, akan melakukan pendampingan kepada para korban (anak-anak, dewasa, manula) seperti memberi info (update) seputar bencana dan keadaan rumah yang mereka tinggalkan, melakukan program pendampingan yang bermanfaat untuk semua jenis umur pengungsi, dan megorganisir mereka agar tidak terlantar untuk mendapat haknya. Semua itu harus dengan perencanaan dan fokus yang jelas. Mereka harus jalan dengan step-step yang ditentukan sebelumnya dan dipastikan bermanfaat untuk para pengungsi baik itu selama maupun pasca bencana. This is the true education for displacement people.

Balik lagi ke Muntilan. Selain bertugas mencatat barang yang diturunkan (diberikan), saya juga membantu untuk menaikkan dan menurunkan barang dari dan ke atas mobil. Hahaha hari itu selain menjadi relawan dadakan, saya juga merasakan menjadi kuli panggul dadakan. It's not hard as I think before. Membantu itu tak seberat yang dipikirkan, kalau semua dijalani dengan senang.

Saat mengangkut barang-barang itu, saya melihat beberapa laki-laki dewasa yang hanya melihat saja. Malah beberapa wanita dan satu orang tua membantu kami mengangangkat kardus-kardus berisi barang. Sebenarnya hati ini dongkol, tapi sudahlah, toh kami masih bisa melakukannya sendiri. Beberapa saat kemudian ketika kami sudah selesai angkat-angkat, salah satu orang yang tadi hanya menonton mendatangi salah satu dari relawan, mas gembul, untuk berdiskusi tentang sesuatu. Barulah saya tahu kalau sebenarnya para penonton tersebut adalah warga desa asli (bukan pengungsi) yang juga merasa durugikan oleh bencana gunung merapi. Mereka gagal panen sehingga tak ada penghasilan sementara mereka tidak dapat bantuan seperti halnya para pengungsi. Intinya, mereka juga berharap ada sumbangan untuk mereka.

Inilah salah satu persoalan penting dalam hal-hal seputar pengungsian. Saya menggarisbawahi tentang konflik yang mungkin saja terjadi antara pengungsi dengan penduduk setempat yang desanya "ditumpangi" oleh pengungsi. Warga desa yang wilayahnya ditumpangi juga korban dari bencana, tapi mereka tidak mendapat bantuan. sementara ada orang-orang "luar" yang tinggal di daerah mereka dan bantuan datang bergantian. Takutnya, masalah yang terjadi bukanlah pengungsi berebut bantuan dengan pengungsi lain, tetapi pengungsi berebut bantuan dengan penduduk setempat. Apalagi masa-masa ini adalah masa sensitif, diprovokasi sedikit bisa timbul konflik. Paling tidak ini terjadi pada satu desa yang akan saya ceritakan selanjutnya.

Perjalanan berlanjut ke daerah-daerah yang lebih "terpencil" di kecamatan Ngeluwar. Hohoho pada saat di perjalanan, merapi sempat batuk-batuk sedikit. Asapnya terlihat jelas. Bagi saya, Merapi yang kelihatan gagah tapi juga indah itu terlihat sinis. Kontras dengan gunung menoreh di sebelahnya yang kelihatan tenang. Sebenarnya saya agak takut, namun mencoba tenang. Sementara itu abu terlihat menutupi semua pemandangan. Pohon kelapa yang daunnya kuncup ke bawah, pohon-pohon salak yang tumbang dan tertutup debu, rumah-rumah dan jalan pun begitu. Benar! persis seperti kota tua atau kota perang di Timur tengah.

Di pemberhentian pertama, kami mmenurunkan bantuan di Balaidesa Ploso Gede. Kami disambut oleh para mapala yang telah tinggal di sana untuk membantu distribusi barang, menjaga pos pengungsian, dan mengarahkan/memberi informasi kepada para relawan seperti kami yang langsung turun ke daerah-daerah terpencil. Saya sangat bahagia! saya mendapatkan anak-anak muda yang semangat membantu sesama. Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang pantas untuk diapresiasi keberadaannya. Mereka langsung turun ke lapangan, mengambil resiko, dan keberadaan mereka memang sangat bermanfaat, itu yang penting. Saya pun semakin optimis, kalau mereka dapat diberikan bekal untuk menghadapi bencana selama dan pasca pengungsian, maka akan lebih banyak lagi anak muda yang dapat diberdayakan semaksimal mungkin.

Selama sore dan malam itu, kami menurunkan dan menaikkan barang untuk disumbangkan kepada pengungsi. Pada pemberhentian ketiga, yaitu di dusun Ngemplak, kami disambut oleh seorang nenek yang ramah luar biasa. Rupanya dia adalah pemilik rumah yang ditinggali oleh puluhan pengungsi. Rumah yang memang besar itu cukup representatif untuk ditinggali banyak orang. Semua fasilitas ada seperti kamar mandi dan dua ruangan besar untuk tidur. Banyak hal yang berkesan selama mengunjungi pos pengungsian ini. Saya melihat setiap individu di sana berfungsi menurut spesialisasi masing-masing. Para ibu yang bertugas memasak, para relawan yang tinggal disana melakukan fungsi administrasi dan kontrol terhadap masuk dan keluarnya bantuan, serta pemilik rumah yang melayani para pengungsi dengan baik. Saya pikir, saya patut bangga tinggal di Indonesia karena semangat solidaritas ini. Siapa yang bisa membantu apa, dilakukan dengan senang hati.

Saya terharu ketika pemilik rumah yang dengan senang hati memperkenalkan saya dengan para pengungsi seperti kami semua adalah keluarga. Ya keluarga yang bertemu untuk bersilaturrahmi karena salah satu dari kami sedang tertimpa bencana. Saya rasa, Inilah modal sosial yang harus selalu dijaga yaitu semangat kekeluargaan.

Di sini pula saya mendapat cerita miris dari seorang pengungsi yang desanya terkena imbas letusan yang parah. Mereka gagal panen sehingga tidak mendapat penghasilan selama 6 bulan ke depan. Pun merugi karena uang mereka sudah habis untuk menanam padi yang seharusnya seminggu lagi mereka panen. "Terus nanti kami makan apa? semua habis" tanyanya pasrah pada diri sendiri. Hampir sebagian besar rumah di desanya rubuh. Pohon-pohon yang tumbang dan lumpur menutupi atap-atap rumah mereka. Di situ juga, saya melihat wajah-wajah kosong seperti sedang menerawang jauh. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya khawatir, akibat bencana merapi ini akan semakin banyak orang stres karena ketidakjelasan hari esok. Seperti pertanyaan salah satu pengungsi tadi, mau makan apa mereka kalau penghasilan tidak ada sementara bantuan akan habis. Belum lagi yang rumahnya rusak dan/atau hancur, mau tinggal dimana mereka. Saya pikir, ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah saja, tetapi juga semua elemen masyarakat. Seperti selama bencana berlangsung, pasca bencana juga menjadi ladang bagi semua pihak untuk berperan. Apa yang bisa dikontribusikan, mari dilakukan dengan serius. Contohnya, dalam masa ini pemerintah akan menjalankan programnya seperti bantuan modal kepada korban sehingga perlu pengawasan untuk memastikan bentuan tersebut sampai pada tangan yang memang berhak. Juga trauma healing untuk para korban agar mereka tetap optimis menghadapi masa depan. Kita harus selalu mendukung mereka untuk bertahan, itu sumbangan terkecil namun memiliki dampak yang sangat besar.

Berbeda dengan pemberhentian ketiga, di permberhentian terakhir, kami terlibat dalam sebuah kejadian yang sama sekali tidak saya perhitungkan sebelumnya.

Jam 20.00 kami tiba di pos pengungsian terakhir yaitu di SD Druju. sebenarnya pos ini sudah kami sambangi pada pemberhentian kedua, namun karena ada bantuan yang terlewat, maka kami mampir lagi ke sana. Ternyata di sana kami mendapat cerita dari warga bahwa sumbangan yang selama ini di drop di tempat itu, dipindahkan oleh beberapa oknum ke tempat lain yang mereka klaim sebagai pos pusat padahal pos pusat adalah balaidesa yang kami kunjungi pada pemberhentian pertama. Kebetulan, oknum tersebut adalah warga asli desa tersebut. Menurut pengakuan salah satu pengungsi, setiap barang yang datang selalu diangkut menuju pos mereka, dan ketika pengungsi meminta bantuan ke pos, tidak diberikan. Akhirnya, pengungsi menyuruh relawan yang ingin membantu untuk menitipkan bantuan kepada pos lain yaitu SDN i Plosogede yang bukan salah satu daerah kekuasaan para oknum tersebut agar sedikit demi sedikit dapat mereka ambil.

Malam ketika kami datang adalah puncak ketegangan. Sebagai pihak luar kami tidak berwenang ikut campur. Pihak-pihak yang bermusyawarah antara lain adalah kepala desa, perwakilan pengungsi, satu polisi sebagai pengawas, dan oknum pengkoordinir pos yang menurutnya berfungsi sebagai pos pusat. Pembicaraan berlangsung tegang. Permasalahan yang terjadi sebenarnya jelas, para pengungsi bingung bagaimana harus memposisikan diri. Di satu sisi mereka ingin haknya sampai pada mereka, tetapi di sisi lain, mereka tidak berani banyak menuntut karena mereka adalah sebagai tamu yang "menumpang" di desa itu. Padahal, pos pengungsian tersebut resmi karena sudah mendapat izin dari kepala desa. Sedangkan para oknum tersebut berpendapat bahwa sebagai tamu seharusnya para pengungsi melaporkan semua barang yang masuk dan keluar karena mengingat pos bentukan oknum tersebut adalah pos pusat.

Hal yang perlu saya garisbawahi adalah, inilah contoh permsalahan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. bayangkan, pengung-pengungsi yang sudah susah karena harus meninggalkan desanya harus mendapat masalah lain lagi seperti klaim mengklaim bantuan. Juga, tidak ada pihak resmi yang dapat membantu mereka untuk memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dengan penduduk setempat. Bukannya keadaan semakin baik, dikhawatirkan ini akan menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu, pengkoordinasian posko-posko haruslah jelas dan diupayakan selalu ada tindakan tegas dari pihak yang berwajib jika ditemukan permasalahan di lapangan yang tidak seharusnya. Polisi dalam hal ini sebenarnya adalah pihak yang cukup efektif sebagai pelerai, namun akan berfungsi sebaliknya apabila hanya menjadi pihak pendengar tanpa berkontribusi untuk penyelesaian masalah itu sendiri.

Akhirnya, tugas kecil saya berakhir ketika malam hampir larut. Saya senang. Tidak hanya pengalaman langka yang saya dapatkan, tetapi juga semangat dan mimpi-mimpi yang mungkin suatu hari dapat saya wujudkan.

0 comments: