Thursday, November 4, 2010

Lebih Dari Sekedar Tempat Membaca

Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai yang diadakan oleh universitas sanatha dharma dan berhasil memenangi juara 1.

Ada sebuah sekolah madrasah kecil di desa saya, tepatnya di depan rumah saya. Nama Madrasah tersebut adalah Madrasah Nashirul Ummah, Leran Tuban. Keadaan bangunan sekolah itu cukup memadai meskipun banyak coretan dan cap tangan kotor di temboknya. Sekolah itu mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi dimana setiap kelas hanya diisi 9-10 anak. Setiap tahun ajaran baru, Madrasah itu jatuh bangun ‘merayu’ anak-anak di desa saya yang masih malas-malasan sekolah untuk bersedia bersekolah disana. Tapi saya tidak akan membicarakan tentang kemuraman di Sekolah itu meskipun tidak akan habis kalau diceritakan. Saya lebih suka membahas semangat, keceriaan, dan kecerdasan setiap hal di sekolah itu. Anda tahu sumbernya dari mana? Dari sebuah ruangan sempit apa adanya yang disebut maktabah dalam bahasan arab, atau perpustakaan dalam bahasa Indonesia. Saya akan menceritakannya untuk anda, sebuah cerita tentang kejujuran dan keteladanan yang berasal dari ruangan yang bernama perpustakaan. Tulisan ini akan dimulai dari cerita sederhana mengenai sebuah perpustakaan di desa saya, lalu saya akan memposisikannya sebagai sebuah teladan bagi “perpustakaan pada umumnya” -yang sering saya temui, dan terakhir, saya ingin memberi pemaknaan terhadap Perpustakaan di desa saya yang telah saya ceritakan sebelumnya, yang saya kira akan membantu pembinaan watak (character building) anak-anak bangsa terutama mereka yang ada di desa saya.

Bermula Dari Kelangkaan

“Ayo masuk ke maktabah!”
Saya sering mendengar kalimat itu ketika bel istirahat berbunyi di Madrasah depan rumah saya. Dan anak-anak akan berlarian ke dalam sebuah ruangan sempit yang berukuran kurang lebih 5x5 meter, jauh lebih sempit dari perpustakaan pada umumnya. Tidak banyak buku disana, kalau biasanya perpustakaan identik dengan buku, di perpustakaan itu jarang terlihat buku. Ada beberapa buku seperti kitab pengantar bahasa arab, aqidah akhlak, sedikit buku IPS dan IPA yang saya yakin akan membosankan bagi anak-anak itu. Tapi disana ada papan catur lengkap dengan bidaknya, permainan monopoli, kertas-kertas lebar dengan gambar pegunungan dan matahari di tengahnya, kertas-kertas yang telah dipotong kecil-kecil dengan bentuk baju, makanan dan lain-lain. Sungguh sederhana. Hal yang membuat saya terkagum adalah, semua itu karya mereka! Semua tersimpan rapi di dalam perpustakaan itu. Ketika saya bertanya tentang hal diatas, Pak Badrudin, seorang guru paruh baya yang mengurusi perpustakaan itu menjelaskan dengan canggung. “Murid-murid yang mengisi perpustakaan ini Mbak, bukunya sedikit”.

Jawaban tersebut cukup menggelitik hati saya. Ternyata semua berasal dari kelangkaan, sebuah keadaan yang akhirnya memancing anak-anak di sekolah tersebut untuk berbuat “sesuatu”. Kurangnya buku di perpustakaan tersebut tidak lantas membuat para guru dan murid berpangku tangan. Ibaratnya kalau tidak dapat menimba ilmu dari bermacam-macam buku, mereka dapat menciptakannya dari pengalaman pribadi, cerita, bahkan mimpi-mimpi mereka. Saya ambil contoh, setiap hari selalu ada jam khusus yang diperuntukkan bagi murid-murid untuk belajar bebas di perpustakaan tersebut. Saya sering mengamati mereka berkerumun, ada yang bercerita tentang keluarga atau kegiatan mereka di akhir pekan, ada yang bermain catur, membaca, menulis cerita atau hanya sekedar bercanda. Mereka senang melakukannya. Ketika saya bertanya tentang keadaan yang tidak umum itu, Pak Badrudin menjawab sederhana “Belajar bisa dari mana saja mbak, tidak hanya dari buku. Dari kehidupan sehari-hari juga bisa dijadikan pelajaran.”

Menurut Pak Badrudin, berawal dari diskusi tersebut, anak-anak lebih dapat mengekspresikan diri. Mereka ceria karena senang dengan metode yang mereka lakukan, tidak ada batasan apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan. Anehnya, hal tersebut tidak membuat mereka lupa belajar, namun membuat mereka tergiring untuk melakukan hal-hal kreatif seperti menciptakan hasta karya, berpikir kritis semisal saling mengkritik kegiatan teman lain, dan hubungan kekeluargaan yang terlihat erat diantara mereka. Tentu masih ada anak-anak bandel yang kadang berulah seperti mengganggu teman yang lain atau merusak hasil karya teman yang lain, tapi mekanisme yang diterapkan pun tidak lantas membuat Si anak merasa diadili, tetapi dengan beberapa step seperti yang diakui Pak Badruddin. “Kalau ada yang merusak hasil karya temannya, yang menghukum ya teman mereka sendiri. Misal disuruh bernyanyi atau membuat hasta karya tandingan.” Lanjut beliau, hal tersebut jarang sekali terjadi. Selain karena takut dihukum oleh teman sendiri, anak-anak tersebut juga mengincar hadiah (seringnya berupa seperangkat alat tulis-menulis) yang diberikan setiap akhir semester bagi anak-anak yang aktif, taat peraturan dan kontributif.

Mungkin bagi kita yang tidak terlibat secara langsung dalam mekanisme tersebut akan menyangsikan keefektifannya. Bagaimana mungkin hal tersebut dapat berlangsung? Saya cukup mendapat jawabannya ketika membaca tulisan Simpson (2001) yang saya pelajari dari mata kuliah strategi di jurusan saya. Menurutnya, apabila seseorang ada dalam suatu keadaan yang penuh dengan kemungkinan defection (kecurangan dan non-kooperasi), salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengubah kemungkinan defection tersebut adalah dengan menciptakan dan/atau memelihara komitmen, yaitu dengan mekanisme reward dan punishment, threat dan promises. Tampaknya reward dan punishment lah yang banyak berlaku dalam interaksi diatas.

Saya juga sering bertanya-tanya bagaimana mungkin anak-anak yang pada umumnya butuh diatur dapat dengan sendirinya mengorganisir diri mereka sendiri? Setelah saya cari tahu, ternyata mekanisme ‘komitmen’ tersebut telah berlangsung lama dan selalu mengalami pengulangan (repeated behaviour). Tepatnya sejak tahun 2000-an, Madrasah di depan rumah saya tersebut merintis perpustakaan yang unik tersebut. Kenapa unik? Saya melihatnya sebagai suatu hal yang unik karena murid-murid lah yang memiliki andil besar dalam keberlangsungannya dan tetap bertahan dengan peraturan yang ada. Meskipun berkembang dalam lingkup yang sangat kecil, namun pada kenyataannya perpustakaan tersebut dapat terus hidup dengan kegiatan yang bermacam-macam. Mungkin tidak hanya sebagai perpustakaan, tetapi lebih dari itu, dari perpustakaan tersebut muncul kegiatan-kegiatan lain semisal olah raga (catur), story telling, dan pembuatan kerajinan tangan.

Tidak berhenti di sana, kejujuran sebagai sebuah nilai juga menjadi nafas perpustakaan tersebut. Hampir sebagian koleksi baik itu buku, peralatan untuk membuat keterampilan maupun hasil hasta karya para murid tidak pernah hilang atau dicuri, kalaupun tidak ada itu karena rusak. Kalau saya amati, hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan ‘pemilikan bersama’ atau dalam bahasa Kollock (1998) disebut sebagai sebuah aksi kolektif untuk pemeliharaan public goods. Public goods dalam pembahasan di atas misalnya adalah buku-buku, hasil kerajinan tangan, alat-alat belajar dll. Public goods tersebut merupakan milik bersama karena yang membuat adalah mereka sendiri (atau paling tidak mereka gunakan bersama) sehingga keadaan tersebut akan membentuk identitas bersama yaitu sebagai pemilik barang-barang yang harus dilindungi.


Bersambung...

0 comments: