Thursday, November 4, 2010

Mempertahankan ”Menjadi Indonesia” di Pondok Pesantren

Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai pemboman yang terjadi di tanah air tercinta Indonesia yang dilakukan oleh para teroris yang berkedok pembela agama Allah. Bom Bali I dan II, dan yang terakhir adalah pemboman di Hotel J.W Mariot dan Ritz Calrton adalah sedikit contoh aksi Bom bunuh diri yang dilakukan oleh anak bangsa di tengah carut-marutnya perekonomian dan kemiskinan yang melanda bangsa indonesia. Hal yang menyakitkan dari fenomena ini adalah bahwa aksi tersebut dilakukan oleh orang yang lahir dan dibesarkan di bumi Indonesia dan dididik ditengah ajaran agama mayoritas penduduk Indonesia, yaitu Islam. Tak pelak, institusi pendidikan pondok pesantren menjadi tersangka utama dan belakangan mendapat sorotan dari pemerintah maupun masyarakat umum dikarenakan beberapa pelaku bom adalah jebolan dari pondok pesantren tertentu. Memang yang terlibat dalam pemboman adalah ponpes itu-itu saja, namun bukannya tidak mungkin melihat dinamisasi politik nasional dan internasional, banyak ponpes sejenis yang akan bermunculan. Esay ini merupakan representasi pengalaman, keprihatinan, dan harapan penulis mengenai nasib ”nasionalisme” yang dimiliki anak-anak bangsa Indonesia yang dididik dalam lingkungan pondok pesantren. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberi label atau justifikasi pada satu institusi atau perseorangan, namun lebih pada sikap kritis terhadap fenomena yang telah penulis alami (secara riil) serta sebisa mungkin memberi alternatif pemecahan masalah.

Masih Adakah Nasionalime di Pondok Pesantren?

Sedari kecil, saya telah akrab dengan kehidupan pondok pesantren (ponpes) karena kebetulan di belakang rumah saya berdiri pondok pesantren. Selain itu, saya dan ketiga saudara saya juga merupakan jebolan pondok pesantren. Sebagaimana lagu populer tentang kehidupan para santri, pada kenyatannya memang demikian adanya dimana kegiatan yang utama adalah mengaji dan bersosialisasi antar murid dengan sikap yang sebisa mungkin islami. Lalu dimanakah tempat penghayatan nasionalisme terhadap negara indonesia ketika setiap hari yang mereka pelajari adalah kitab kuning berbahasa arab atau tentang surga dan neraka? Ini pertanyaan menggelitik bagi saya karena jawabannya pasti akan terdengar klise seperti: karena di pondok pesantren memang yang diajarkan adalah pelajaran agama untuk memperoleh surga. Lalu bagaimana kalau kunci surga itu bisa saja adalah tindakan yang merugikan bangsa dan negara? dan hal inilah yang menjadi kegelisahan semua orang karena para teroris belakangan menggunakan kedok surga untuk membenarkan tindakannya.

Ketika belajar di ponpes, disadari atau tidak, saya lebih merasa ”arab” daripada ”indonesia”, artinya setiap hari yang saya pelajari adalah yang juga orang arab sana pelajari, buku berbahasa arab, bercakap, dan mendengar bahasa arab. Mau tidak mau, hal ini membuat saya lebih merasa sebagai bagian dari orang arab dari pada orang indonesia. Solidaritas dan keterikatan dengan budaya maupun permasalahan orang-orang arab atau timur tengah pada umumnya lebih menjadi concern saya daripada permasalahan bangsa sendiri. Tidak mengherankan kalau semisal ada bencana atau persolan pelik bangsa arab, saya akan lebih terpanggil untuk melakukan ”sesuatu”.

Fenomena semacam ini bukannya tanpa sebab. Jika saya amati, kecenderungan lebih ”arab” tersebut dikarenakan tidak adanya perasaan keterikatan terhadap Indonesia secara langsung atau riil. Indonesia seperti awang-awang dimana para santri memang sadar sedang tinggal di sebuah negara yang bernama indonesia, namun penjiwaan tentang hak dan kewajiban berbangsa dan bernegara hampir tidak ada. Mengapa saya mengatakan demikian, karena pada institusi ponpes dan terutama akar rumput atau santri, mereka merasa self-help dalam menuntut ilmu. Pemerintah indonesia bagaikan sesuatu yang abstrak bagi mereka karena selama ini, ponpes dan pemerintah seperti jalan sendiri-sendiri. Bahkan hubungan yang erat sering terjalin antara pondok pesantren dengan negara lain terutama timur tengah karena murid dari pondok pesantren biasanya meneruskan pendidikan di negara-negara timur tengah.

Tidak hanya perasaan ”lebih arab” yang memprihatinkan, tetapi juga content (isi) pelajaran di Ponpes yang perlu dikritisi. Menurut saya, para santri memang diajarkan tentang agungnya agama mereka, namun minim kesadaran tentang kebinekaan. Tentang keberadaan mereka di suatu negara yang multi etnis, agama, dan budaya yang bernama Indonesia. Bagaimana mereka akan menghargai keberagaman tersebut kalau yang mereka tahu adalah agama mereka yang paling benar? Tidak hanya content saja yang perlu dikritisi, tetapi juga sistem pengajaran yang minim dialog dan interaksi secara langsung. Agaknya hal ini tidak hanya terjadi di lingkup Ponpes, tetapi juga pada sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya. Dikhawatirkan dengan adanya pengajaran yang dogmatis semacam ini, akan terjadi fanatisme semu yang mengakibatkan ketidakpekaan untuk berpikir kritis sehingga dengan mudah dicekoki ajaran-ajaran yang mendatangkan kemudhorotan bagi banyak pihak. Dalam hal ini, tentu saja bukan hanya institusi pondok pesantren yang patut dipersalahkan, tetapi juga pemerintah sebagai komando sistem pendidikan di Indonesia.

Hubungan antara pemerintah, pondok pesantren sebagai institusi, dan santri merupakan tiga kesatuan yang sebenarnya dependent (saling bergantung). Namun pada kenyatannya, pemerintah dan pondok pesantren seperti jalan sendiri-sendiri sedangkan para santri hanya manut saja, sehingga menurut penulis akan merugikan ketiganya secara langsung mapun tidak langsung. Misalkan saja, mayoritas pondok pesantren di Indonesia memang mengajarkan, kasarnya, berbagai hal untuk memperoleh surga di akhirat kelak namun mengabaikan pengajaran mengenai keahlian untuk bekerja di dunia. Akibatnya, setelah santri lulus dari ponpes, mereka tidak memiliki keahlian apapun sementara asap di dapur harus tetap mengepul. Apabila bekerja pun, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak profesional. Saya berikan contoh, banyak orang di desa bahkan kecamatan di kota saya (Tuban) yang lulusan ponpes, menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional, bahkan sebagian dari mereka menganggur. Padahal biaya dan waktu yang mereka habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Sedangkan pemerintah sendiri seperti tidak perduli dengan keadaan tersebut padahal akan berakibat pada kemajuan ekonomi dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Akibat dari berbagai permasalahan tersebut adalah semakin terkikisnya perasaan nasionalisme para santri pondok pesantren padahal mereka juga adalah generasi penerus bangsa yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak heran apabila mereka lebih cenderung membela saudara-saudara mereka yang ada di timteng daripada orang-orang miskin di Indonesia. Tidak heran pula kalau mereka lebih bersemangat mengumpulkan sumbangan untuk orang-orang di timteng daripada anak-anak kecil busung lapar di beberapa wilayah di Indonesia. Dan yang paling parah, mereka (tidak semuanya) tidak segan-segan membunuh bangsa sendiri sebagai reaksi atas peristiwa yang terjadi di Timteng antara Barat (AS) dengan negara-negara Timteng. Inilah hal urgent yang seharusnya menjadi perenungan kita bersama.

Mempertahankan Nasionalisme di Pondok Pesantren

Nasionalisme sering diartikan bukan hanya sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk memberi kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana (terutama) para santri berkontribusi apabila perasaan dilibatkan itu tidak ada? bagaimana melakukan bakti negara apabila hak dan kewajiban tidak mereka sadari? Seharusnya kita sadar dari dulu bahwa ada suatu sistem yang salah yang selalu dipertahankan dari waktu ke waktu sehingga semakin mengakar. Sistem tersebut tidak lain adalah “ketidakpedulian massal” tentang hak dan kewajiban antara pemerintah, institusi pondok pesantren, dan santri. Sampai saat ini, mungkin masih sedikit dari kita yang menganggap ini suatu masalah sampai banyaknya pemboman yang dilakukan oleh oknum-oknum yang disangkut-pautkan dengan institusi pondok pesantren. Sangat tidak adil ketika kita hanya menyalahkan institusi ponpes tanpa mencari tahu sebab yang sifatnya lebih riil. Dan menurut penulis, sebab struktural yang penulis ungkapkan diatas dinilai lebih realistis.

Seperti mengurai benang merah, tidak mudah untuk menawarkan solusi bagi tegaknya nasionalisme terhadap negara Indonesia di ponpes. Namun berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, Negara, dalam hal ini dinas pendidikan, harus mulai intense untuk ikut campur dalam pengelolaan pondok pesantren tidak ubahnya dengan sekolah negeri pada umumnya, namun dalam kadar yang kompromistis bukan mendominasi. Maksudnya, beri mereka dana untuk berkembang tidak hanya secara fisik namun juga kwalitas nonfisik. Saya perhatikan selama ini, pemerintah memang menyediakan dana untuk kemajuan pembangunan ponpes, namun kebanyakan hanya untuk pembangunan secara fisik dan itupun dananya sangat terbatas (jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri).

Kedua, pemerintah perlu memperhatikan kurikulum yang diajarkan di ponpes. Isu yang selama ini berkembang adalah bahwa pemerintah harus menstandarkan kurikulum di semua ponpes di Indonesia. Menurut saya, hal ini sangat sulit bahkan mustahil dilakukan. Kalaupun bisa, dalam pelaksanaannya akan terjadi banyak penyelewengan atau bahkan sama sekali tidak dilakukan oleh ponpes itu sendiri. Selain itu, pemerintah akan sangat sulit menentukan bagaimana mekanisme standarisasi tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya jenis pondok pesantren itu sendiri. Menurut pengalaman penulis, hampir setiap pondok pesantren memiliki standar kurukulum sendiri-sendiri. Misalnya saja, ada ponpes yang khusus mengajarkan Al-quran, ada pula ponpes salaf yang ketat dimana santri hanya belajar agama, serta ponpes yang fungsinya sebagai asrama dimana siswanya bersekolah di lingkungan yang sama dll. Ada bermacam-macam ponpes dengan takaran idealnya sendiri dalam memberikan pengetahuan agama bagi para santrinya.

Jadi apa yang dapat dilakukan? menurut saya, pemerintah tetap perlu memasukkan beberapa kurikulum yang ditujukan untuk membina semangat nasionalisme serta kecintaan terhadap tanah air terutama bagi ponpes salaf. Misalnya, mata pelajaran ataupun kurikulum yang berbasis pada pendidikan perdamaian baik itu mekanisme maupun content pengajarannya. Menurut saya, content pendidikan perdamaian tersebut harus mengandung unsur dialog, penghargaan terhadap kebinekaan dan hal-hal lain yang dapat menjamin tidak hanya damai dengan Tuhan tetapi juga damai dengan sesama manusia dan bakti kepada negara. Hal ini sebenarnya telah pula diajarkan di pondok pesantren karena inti dari ajaran islam sendiri adalah hubungan dengan Allah, Manusia, dan alam namun penghayatan secara riil di masyarakat minim didapatkan. Secara teori mungkin mereka mengerti namun ketika telah berhadapan dengan kehidupan nyata, sulit untuk direalisasikan. Pendidikan perdamaian bukanlah mata pelajaran abstrak, namun juga dapat dijadikan mekanisme bagi proses pengajaran itu sendiri. realisasinya dapat berupa dialog dan interaksi langsung serta cara-cara yang nir-kekerasan. Selain itu, berpikir kritis dan berdiskusi akan menghindarkan pandangan sempit mengenai perbedaan agama, sehingga pada gilirannya, mereka sadar telah hidup di negara yang penuh perbedaan.

Ketiga, para santri di pondok pesantren jangan hanya diajari mengaji, tetapi mereka juga harus diberdayakan. Artinya, mereka diberi keahlian semisal menjahit, komputer, mesin dll. sehingga selesai menimba ilmu di ponpes, mereka dapat meneruskan hidup dengan bekerja secara profesional. Dan satu hal lagi yang penting, negara harus memfasilitasi mereka untuk meneruskan hidup seusai mengenyam pendidikan di ponpes. Kalau perlu, mereka dapat diterima di perusahaan-perusahaan milik negara setingkat dengan lulusan perguruan tinggi atau sekolah-sekolah negeri.

Kesimpulan

Hal yang ingin saya tekankan dari tulisan saya ini adalah bahwa pemerintah, ponpes, dan santri adalah entitas-entitas dari bangsa indonesia yang hendaknya menyadari dan berperan sesuai dengan kapasitas dan porsi masing-masing dalam membangun bangsa. Perlu saya garis bawahi bahwa para santri adalah anak bangsa yang harus pula dihidupi oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 45. Mereka punya hak untuk itu. Mereka punya kewajiban tetapi bagaimana mereka melakukan kewajiban itu apabila mereka tidak merasa punya kewajiban untuk bakti negara karena selama ini hak mereka sebagai warga negara terabaikan atau tidak sadar pernah mereka enyam. Yang harusnya terjadi adalah mereka dilibatkan dalam pembangunan negara sehingga mereka memiliki perasaan senasib sepenanggungan bahwa mereka lahir, tinggal dan akan mati di Indonesia. Mereka bukan warga negara arab yang kebetulan tinggal di Indonesia dan oleh karenanya lebih berminat untuk berkorban bagi kepentingan orang-orang Arab daripada membangun Indonesia tercinta. Inilah yang patut kita renungkan bersama!


Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai nasional Menjadi Indonesia yang diadakan Tempo Institute dan berhasil mendapat juara ke-2.

1 comments:

Unknown said...

Keren banget, pantes kalo menang hehehe. Selamat ya Nung :)